Rabu, 26 Februari 2014

Makalah: “EKONOMI INDONESIA DARI KRISIS MONETER HINGGA ERA REFORMASI B.J HABIBIE (1997-1999)”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Krisis moneter adalah anjloknya perekonomian suatu negara yang disebabkan oleh hancurnya suatu sistem pemerintahan yang berdampak besar terhadap suatu negara. Indonesia selama perkembangannya telah mengalami beberapa fase pemerintahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia sudah sering mengalami krisis moneter. Krisis moneter yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997, berawal dari melemahnya mata uang Thailand baht terhadap dollar AS. Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht terhadap dollar AS mengalami gocangan akibat para investor asing mengambil keputusan jual karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik negara Thailand. Sehingga pada tanggal 2 Juli 1997, bank sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF (International Monetary Fund). Pengumuman ini menyebabkan nilai baht terdepresiasi hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dollar AS yang menyebabkan nilai dollar menguat, yang kemudian berimbas ke rupiah Indonesia.
Sebenarnya krisis yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena dipicu oleh melemahnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dollar AS saja, tetapi juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah pada saat itu. Sebelumnya krisis yang terjadi di negara-negara Asia seperti Thailand, Korea Selatan dan Indonesia sudah dapat diramalkan walaupun waktunya tidak dapat dipastikan. Hal ini terlihat dari defisit neraca yang terlalu besar dan terus meningkat pada setiap tahunnya. Selama pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara Barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekontruksi dan pembangunan ekonomi, maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia.
            Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut, terdapat kekurangan pada masa pemerintahan Orde Baru. Melaui kebijakan-kebijakannya Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, namun dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diawali dengan krisis pertukaran mata uang terhadap dollar AS. Kecenderungan melemahnya mata uang rupiah semakin menjadi ketika terjadinya aksi mahasiswa pada tanggal 12 Mei 1998 yang dikenal dengan Tragedi Trisakti.
            Akibat krisis moneter yang melanda Indonesia, akhirnya Presiden Soeharto dipaksa mundur dari jabatannya pada tahun 1998, yang kemudian digantikan posisinya oleh Presiden B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Walaupun tidak banyak yang dapat beliau lakukan dengan masa kepemerintahan yang hanya selama satu tahun, namun melalui kepemerintahannya, Indonesia sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dari segala aspek, baik itu politik, ekonomi dan sistem pemerintahan. Sehingga masa ini di kenal sebagai Era Reformasi.

B.     Rumusan masalah
                  Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana latar belakang terjadinya krisis moneter di Indonesia?
2.      Bagaimana dampak yang dihasilkan dari terjadinya krisis moneter?
3.      Bagaimana peranan B.J Habibie terhadap perbaikan perekonomian di Indonesia pasca krisis moneter ?

C.    Tujuan Makalah
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, penulis menyusun tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui latar belakang tejadinya krisis moneter di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari terjadinya krisis moneter.
3.      Untuk mengetahui peranan B.J Habibie terhadap perbaikan perekonomian di Indonesia pasca krisis moneter.


D.    Kegunaan Makalah
            Berdasarkan tujuan makalah di atas, maka penulis menyusun kegunaan makalah sebagai berikut :
1.      Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan untuk mengetahui tentang latar belakang terjadinya krisis moneter.
2.      Pembaca, sebagai media informasi untuk mengetahui tentang seluk-beluk perekonomian di Indonesia pada saat krisis moneter hingga era reformasi.

E.     Prosedur Makalah
            Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relavan dengan tema makalah.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Pustaka

1.         Definisi Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah ilmu sosial yang mempelajari individu-individu dan organisasi yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa. Tujuan ilmu ekonomi ini adalah untuk meramalkan berbagai peristiwa ekonomi dan untuk membuat berbagai kebijakan yang akan mencegah atau mengoreksi berbagai masalah seperti pengangguran, inflasi, atau pemborosan dalam perekonomian.
         Ilmu ekonomi terbagi menjadi ilmu makroekonomi dan ilmu mikroekonomi. Ekonomi mikro adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari perilaku dari unit-unit ekonomi individual, seperti rumah tangga, perusahaan, dan struktur industri. Sementara ekonomi makro adalah cabang ilmu ekonomi yang memperlajari persoalan ekonomi secara keseluruhan atau nasional, seperti pertumbuhan, deflasi, inflasi, pengangguran atau kesempatan kerja.
2.         Definisi Krisis Moneter
                     Krisis moneter adalah krisis yang berhubungan dengan keuangan atau perekonomian suatu negara, ditandai dengan anjloknya perekonomian suatu negara yang disebabkan oleh hancurnya sistem pemerintahan.

3.         Definisi Inflasi
                     Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan inflasi. Kecuali, apabila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga karena, misalnya musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dapat dikatakan masalah atau penyakit ekonomi dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya.
         Ada berbagai cara untuk menggolongkan inflasi, pergolongan pertama didasarkan atas parah atau tidaknya inflasi tersebut. Adapun macam-macam inflasi :
a.         Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
b.        Inflasi sedang (antara 10-30% setahun)
c.         Inflasi berat (antara 30-100% setahun)
d.        Hiperinflasi (diatas 100% setahun)



4.    Definisi Reformasi
a.    Dalam kamus besar bahasa Indonesia  karya Drs. Adam Normiet SAE, mereka mendefinisikan bahwa reformasi adalah suatu sikap untuk melakukan perubahan radikal dalam rangka untuk melakukan perbaikan dalam kehidupan masyarakat, maupun bangsa-negara.
b.    Reformasi yaitu susunan tatanan prikehidupan yang lama diganti dengan prikehidupan yang baru secara hukum untuk menuju perbaikan yang lebih baik. (Mahir Ilmu Sejarah Praktis dan Lengkap, hlm. 176)
Melihat kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang begitu parahnya dan tidak terkendali, maka menjadikan rakyat Indonesia semakin kritis dan berani untuk mengkritik pemerintah. Keberanian tersebut yaitu dengan berpendapat bahwa Indonesia di bawah pemimpin Orde Baru tidak berhasil untuk menciptakan negara yang makmur, adil dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Atas berbagai kesadaran tersebutlah maka secara bersama-sama dengan dipelopori oleh para mahasiswa dan para cendikiawan melakukan aksi besar-besaran yang dikenal dengan gerakan reformasi. Tujuan dari gerakan reformasi ini tak lain adalah untuk melakukan perubahan dan memperbaharui tatanan kehidupan maasyarakat berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan nilai yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945 baik dalam ekonomi, politik, hukum dan budaya.

B.     Pembahasan
1.       Latar Belakang Terjadinya Krisis Moneter di Indonesia
Krisis pertama yang dialami Indonesia pada Orde Baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan Orde Lama. Selama periode 1962-1966 telah membawa Indonesia dalam kesulitan ekonomi yang sangat berat. Inflasi mencapai 650%. Korupsi merajalela. Barang pokok sehari-hari mengalami kelangkaan dimana-mana. Kondisi buruk tersebut diperparah dengan krisis politik yang akhirnya memuncak pada Tragedi Nasional dengan korban jiwa banyak orang pada tanggal 30 September 1965.
Melalui usaha keras disertai bantuan negara-negara donor, Indonesia akhirnya berhasil bangkit kembali. Selama tiga dasawarsa berikutnya, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, bahkan disebut sebagai negara Asia berkinerja tinggi oleh bank dunia. Namun dibalik itu semua, salah satu ciri dari perekonomian Indonesia adalah “Lebih Besar Pasak Daripada Tiang”. Julukan tersebut menggambarkan bahwa bangsa Indonesia terlalu boros, sehingga pengeluaran atau pembelajaan negara lebih besar daripada pendapatan, dan lebih banyak membeli dari luar negeri daripada menjual barang keluar negri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan dana pada luar negri semakin melambung.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama ini, yang selalu dijadikan suatu alasan oleh pemerintah untuk mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kokoh, membuat banyak perusahaan swasta yang juga meminjam uang keluar negri yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi.  Suku bunga diluar negri yang lebih murah, serta kepercayaan bahwa pemerintah akan menjaga stabilitas kurs rupiah, menyebabkan utang luar negri menjadi sumber dana yang menarik, murah, dan tak banyak mengandung resiko kurs. Ketika perusahaan swasta beramai-ramai mencari pinjaman luar negri, pada saat yang sama bank-bank luar negri berlomba mencari bisnis di Indonesia. Sebab bagi mereka, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta merupakan lahan bisnis yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Dan bank-bank ini tak melihat beberapa kelemahan dan resiko yang memang tersembunyikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sehingga memasuki dasawarsa 1990-an, pemerintah Orde Baru mulai menampakan kekurangan-kekurangannya yang mendapat kritik tajam, karena pemerintah yang terlalu sentralis, serta munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme secara signifikan. Tetapi, semua kritik tersebut tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintahan saat itu. Sementara dalam pembangunan perekonomian di Indonesia, tampak pertumbuhan yang sangat pesat. Bahkan dalam laporan tahunan tahun 1997, bank dunia masih meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat rata-rata 7,8 persen.
Pada pertengahan 1997, kawasan Asia terkena krisis finansial, dipicu dengan menurunnya mata uang Thailand baht terhadap dollar AS pada 2 Juli 1997, dari 24,7 baht menjadi 29,1 baht per dollar AS. Pada saat itu IMF (International Monetary Fund) sudah memberikan paket pinjaman pada Thailand sebesar US$17.2 milyar. Tapi krisis keuangan terus berlanjut. Sebanyak 56 dari 58 investment house Thailand ditutup pada tanggal 8 Desember 1997.
Krisis penurunan nilai mata uang baht diikuti negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya, seperti Filiphina, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan. Negara-negara ini di perkirakan memiliki struktur perekonomian tidak jauh berbeda dengan Thailand. Krisis memicu pelarian modal asing dari negara-negara tersebut, membuat sistem perbankan di negara-negara tersebut ambruk satu demi satu. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dollar anjlok dan menyebabkan nilai dollar menguat. Penguatan nilai tukar dollar berimbas ke rupiah.
Di Indonesia, tanda-tanda adanya krisis terjadi pada minggu kedua Juli 1997, ketika kurs rupiah merosot dari Rp. 2.432 per dollar AS menjadi sekitar Rp. 3.000 per dollar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal pada saat itu hutang luar negri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis. Bank Indonesia berusaha membuat sejumlah kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, namun krisis moneter yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan, membuat nilai rupiah semakin sulit dikontrol.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan PHK secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia dimasa lalu dipandang cukup kuat dan di sanjung-sanjung oleh bank dunia.
Hingga akhirnya, pada tanggal 8 Oktober 1997 Presiden Soeharto mengundang IMF untuk membantu krisis yang terjadi di Indonesia. Namun sayangnya, paket bantuan tersebut tidak banyak membantu, justru sebaliknya semakin menambah beban hutang untuk rakyat Indonesia.
a)   Keterlibatan IMF
Indonesia pertama kali menjadi anggota IMF pada tanggal 15 April 1954, dan pada bulan Mei 1965 Indonesia keluar dari IMF. Kemudian Indonesia menjadi anggota IMF kembali pada 23 Februari 1967.
Dalam keanggotaannya Indonesia telah menunjuk Gubernur Bank Indonesia sebagai Governor Of The Fund (Gubernur IMF) untuk Indonesia dan mentri keuangan sebagai Alternate Governor Of The Fund (Gubernur pengganti IMF) untuk Indonesia.
Selama menjadi anggota IMF, Indonesia sudah menerima beberapa fasilitas. Fasilitas pinjaman IMF yang pertama kali dimanfaatkan oleh Indonesia adalah The Four Credit Tranche. Penarikan credit tranche pertama dapat dilaksanakan setelah disetujui oleh IMF, yaitu sebesar USD 51,75 juta dengan jangka waktu pinjaman selama satu tahun. Pinjaman tersebut terus berlanjut sampai dengan penarikan keempat sebesar USD 50 juta yang disetujui pada tanggal 14 April 1971. Dengan demikian pada tahun tersebut, total pinjaman Indonesia terhadap IMF mencapai USD 148,4 juta. Fasilitas tersebut diterima Indonesia dalam rangka mengatasi krisis sebagai akibat kebangkrutan pada pemerintah di awal pemerintahan Orde Baru.
Selanjutnya pada 12 Januari 1983 Indonesia kembali memanfaatkan fasilitas Bufferstock Financing Facility (BFF) untuk membayar iuran bufferstock timah dan karet dalam rangka menstabilikan harga-harga komoditas tersebut di pasar dunia. Fasilitas lainnya yang pernah dimanfaatkan Indonesia adalah Compensatory Financing Facility (CFF). Fasilitas ini diberikan kepada para anggota yang mengalami kesulitan neraca pembayaran (bersifat sementara) sebagai akibat berkurangnya penerimaan ekspor yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar kekuasaan negara-negara yang bersangkutan.
      Hingga akhirnya, ketika krisis moneter melanda Indonesia, Presiden Soeharto kembali mengundang IMF untuk membantu menanggulangi krisis pada Oktober 1997. Melalui beberapa perundingan akhirnya IMF memberikan bantuan sebanyak 23 milayar dollar. Langkah pertama yang dilakukan oleh IMF dalam menanggulangi krisis di beberapa negara Asia adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian negara-negara tersebut. Untuk itu IMF melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)        Membantu negara-negara yang paling parah terkena krisis (Indonesia, Thailand, Korea Selatan) melalui program stabilisasi dan reformasi ekonomi;
2)        Memberikan pinjaman sebesar SDR 26 milyar atau setara dengan USD 35 milyar kepada Indonesia, Thailand, Korea Selatan dan membantu menggalang pinjaman dari sumber-sumber multilateral dan bilateral untuk mendukung program reformasi tersebut;
3)        Mengintensifkan konsultan dengan negara-negara anggota IMF lainnya yang terkena dampak krisis yang memerlukan langkah-langkah penanggulangannya.
Seiring dengan ketiga hal tersebut, IMF melakukan beberapa upaya segera sebagai berikut :
1)        Menerapkan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat untuk menahan depresiasi mata uang lebih lanjut;
2)        Memperbaiki kelemahan sistem keuangan, yang di anggap sebagai penyebab utama terjadinya krisis;
3)        Reformasi struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi (seperti monopoli, hambatan perdagangan dan praktek perusahaan yang tidak transparan).
Namun dibalik kebijakan-kebijakannya, ternyata paket bantuan yang diberikan IMF tidak banyak membantu rakyat Indonesia. Justru paket bantuan IMF itu yang dalam pengguanaannya terjadi banyak penyelewengan malah semakin menambah beban hutang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah menutup 16 bank membuat pelaku usaha semakin hilang arah. Nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp. 5.097 per dollar AS. Pada 8 Januari, rupiah semakin lemah menjadi Rp. 9.800 per dollar AS dan mencapai Rp. 11.050 pada akhir Januari 1998.

a.    Faktor Penyebab Krisis
Terdapat beberapa pendapat para ahli mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya krisis finansial disuatu negara, diantaranya:
1.        Menurut sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Kaminsky dan Reinhart (1996) dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar negri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
2.        Anwar Nasution (1998) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis finansial
3.        Menurut kelompok peneliti lain, yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez Peria (1998), dan Obsfeld (1986) berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya baik.
4.        Lepi T. Tarmidi berpedapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS yang sangat tajam.
Melihat dari beberapa pendapat para ahli tersebut, maka faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya krisis moneter di Indonesia antara lain:
1.        Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umunya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi ketidakstabilan di Indonesia. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri mengahadapi besarnya persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani. Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar-benar menjadi masalah serius. Antara tahun 1992-1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (bank dunia, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis.
2.        Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesungguhnya tidak bermodal cukup, namun tetap dibiarkan beroprasi. Semua ini menyebabkan ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai peredam kerusakan, tetapi menjadi korban langsung akibat neraca yang tidak sehat.
3.        Sejalan dengan semakin tidak jelasnya perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4.        Hilangnya kepercayaan dunia maupun masyarakat Indonesia sendiri terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, sehingga menghambat laju gerak pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

b.        Berakhirnya Rezim Orde Baru
Krisis moneter telah memberikan pengaruh besar untuk bangsa Indonesia. Dimulai dengan menurunnya nilai kurs rupiah terhadap dollar AS. Hal ini semakin membuat masyarakat resah dan takut akan kenyataan-kenyataan yang menimpa mereka. Ternyata pemerintah bukan saja tidak berhasil memberantas korupsi, justru sebaliknya malah semakin menyuburkannya. Ini terjadi dalam pemerintahan pusat dan daerah, dari jabatan tertinggi sampai yang paling bawah. Kolusi yang menyebarkan monopoli telah melebarkan jurang antara kaya dan miskin, karena hanya sekelompok orang saja yang menikmati kesempatan dari fasilitas-fasilitas khusus di bidang ekonomi, sementara sebagian besar rakyat hidup dibawah garis kemiskinan.
      Globalisasi dan perkembangan masyarakat dunia yang transparan dan sarat informasi, mendorong berlangsungnya perubahan-perubahan pesat. Hidup didalam polemik ekonomi yang tak terarah, membuat rakyat memiliki banyak kebebasan, transparan lebih besar, lebih berani tapi sekaligus juga semakin bingung, lebih pesimistis tentang masa depan mereka, bahkan lebih abai.
      Kecemasan masyarakat itu akhirnya terefleksikan dalam aksi-aksi unjuk rasa, terutama dimotori oleh kalangan mahasiswa. Pada mulanya, belum terdengar tuntutan agar Presiden mengundurkan diri. Namun selanjutnya, semakin tampak dukungan rakyat kepada pemerintah mulai surut. Akhirnya unjuk rasa bukan lagi menuntut perubahan politik dan ekonomi, melainkan menuntut perubahan kepemimpinan nasional. Sejak itu, tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin nyaring.
Kegalauan masyarakat juga terungkap dalam dalam pemberitaan media massa. Jika media massa sebelumnya dibatasi oleh berbagai ketentuan dalam pemberitaan, justru menampakan keberanian dan independensinya. Media massa mulai bebas menurunkan pemberitaan dan opini yang menyuarakan aspirasi rakyat. Pers nasional tersebut kian mendapat tempat, dengan adanya kebijakan lunak dari pemerintah, seiring dengan tuntutan reformasi.
      Rangkaian aksi kerusuhan mencapai puncaknya ditandai dengan meletusnya Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Pada waktu itu, mahasiswa Universitas Trisakti sedang melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang menewaskan empat orang mahasiswa akibat tembakan peluru tajam. Tragedi ini menjadi bagian pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih besar pada tanggal 13-15 Mei.
      Kerusuhan juga berlangsung di beberapa daerah, telah menimbulkan korban ratusan jiwa dan harta benda. Aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga tindakan asusila, menimbulkan kesedihan dan luka yang dalam bagi bangsa Indonesia. Aksi kekerasan itulah adalah perbuatan diluar dugaan, karena dilakukan sesama rakyat Indonesia yang sebelumnya terkenal dengan keramahan dan kesantunannya.
Ketika puncak peristiwa kerusuhan ini terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo Mesir untuk mengadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada tanggal 13-14 Mei 1998. Melihat semua peristiwa yang memilukan ini, Wakil Presiden menyampaikan pernyataan keprihatinan pemerintah yang amat mendalam dan seruan kepada masyarakat  agar menahan diri. Pernyataan dan seruan in dibacalan di istana Wakil Presiden pukul 23.00 WIB.
      Di Jakarta, korban-korban akibat kerusuhan telah berjatuhan. Pemerintah daerah Tanggerang mencatat lebih dari seratus jenazah hangus terbakar di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan mayat korban kerusuhan. Pusat penerangan ABRI melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum lagi kerusuhan yang terjadi di Surakarta Jawa Tengah dan beberapa daerah lain, diperkirakan korban melebihi jumlah tersebut.
      Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, kepada pers mengumumkan total kerugian fisik bangunan di taksir mencapai 2,5 triliun rupiah lebih, belum termasuk isinya. Kerugian akibat kerusuhan ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 atau dibandingkan dengan kasus 27 Juli 1996 yang menghancurkan puluhan bangunan dan sejumlah kendaraan senilai 100 milyar rupiah, belum termasuk korban jiwa.
      Tersangka kerusuhan tersebut mencapai sekitar 1.000 orang yang sempat di tangkap aparatur. Mereka adalah para pelaku kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan sekitarnya.
      Setelah Presiden Soeharto selesai mengikuti Konferensi  Tingkat Tinggi (KTT) di Kairo Mesir, 13-14 Mei 1998, Presiden Soeharto mengadakan acara silaturahmi dengan masyarakat Indonesia yang berada di Kairo. Sebagaimana dikutip beberapa media, Presiden Soeharto mengatakan, bila rakyat tidak lagi memberi kepercayaan dirinya sebagai Presiden, maka ia siap mundur dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Ia selanjutnya akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan keluarga, anak-anak dan cucu-cucu.
      Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi “bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya” maka B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden secara resmi mengganti jabatan Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-3. Hal ini menandai berakhirnya Rezim Orde Baru dan menjadi titik awal dari Era Reformasi.

2.      Dampak Terjadinya Krisis Moneter
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya kawasan Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia pada saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Tentu saja hal ini memberikan dampak yang sangat besar untuk bangsa Indonesia.
Salah satu kebanggaan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang selalu dikedepankan adalah keberhasilannya mengurangi jumlah penduduk miskin. Pada tahun 1970, ada 70 juta orang miskin atau sekitar 60% dari jumlah penduduk Indonesia pada saat itu. Setelah itu, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan secara konsisten. Pada tahun 1996,  jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tersisa 22,5 juta jiwa atau 11,2% dari jumlah penduduk.
         Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah memaksa puluhan juta penduduk Indonesia kembali terpuruk hidup di bawah garis kemiskinan. Pemicu utamanya adalah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Hal ini disebabkan karena unsur pangan didalam perhitungan angka garis kemiskinan teramat dominan, yaitu lebih dari 80%. Akibatnya, kenaikan harga pangan menjadi sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Selain itu, dengan memburuknya indikator-indikator makroekonomi telah merambah ke sendi-sendi dunia usaha, sehingga membuat eksistensi sektor usaha kian melemah. Ketergantungan yang cukup tinggi pada bahan baku impor, membuat biaya produksi membengkak. Selain itu, para pengusaha kesulitan membuat kalkulasi biaya produksi dan menentukan harga jual produk karena pergerakan kurs yang sangat berfluktuasi. Belum lagi persoalan ditolaknya Letter Of Credit yang dikeluarkan oleh bank-bank nasional Indonesia, yang sangat menyulitkan pengusaha untuk mengekspor hasil produksinya.
Masalah yang menerpa dunia usaha secara bertubi-tubi, akhirnya membuat para pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sudah meningkat sejak tahun 1995, sementara Indonesia pada saat itu dihadapkan pada pertambahan 3,2 juta jiwa angkatan kerja baru setiap tahun. Sehingga pada tahun 1998 mengalami peningkatan jumlah pengangguran terbuka dari 4,68 juta orang menjadi 5,46 juta orang. Demikian pula jumlah setengah pengangguran, meningkat dari 28,2 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 32,1 juta jiwa pada 1998. Pertambahan jumlah penganggur dan setengah penganggur tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat, selanjutnya berimplikasi pada krisis sosial di berbagai bidang dan memengaruhi keamanan masyarakat.
Dampak lain yang didapatkan adalah dengan hilangnya kepercayaan Internasional terhadap Indonesia, biaya sekolah luar negri melonjak, laju inflasi yang semakin tinggi, meningkatnya kemiskinan dan persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahan pokok semakin menipis di pasaran, menyebabkan harga kebutuhan bahan pokok semakin naik artinya biaya hidup pun semakin tinggi.
Sebenarnya selain dampak negatif, krisis moneter pun memberikan dampak positif untuk bangsa Indonesia. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam. Hal ini tentu saja memberikan kesempatan bagi para pengusaha kecil dalam negri untuk mengembangkan usahanya. Selain itu perjalanan keluar negeri dan pengiriman anak untuk sekolah ke luar negeri ikut berkurang. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari krisis moneter lebih besar dari dampak positifnya.

3.       Peranan B.J Habibie di Indonesia Pasca Krisis Moneter
Presiden B.J Habibie mewarisi kondisi negara yang kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto pada masa Orde Baru. Pada saat itu, perekonomian Indonesia sudah di ambang kebangkrutan. Produksi macet, tingkat suku bunga meroket, perbankan dan lembaga-lembaga lainnya merosot. Cadangan devisa menipis karena ekspor tersendat, sedangkan kebutuhan impor tidak mungkin di tekan terus, investasi asing langsung maupun tidak langsung hampir berhenti total dan pencairan pinjaman luar negeri yang telah disepakati mengalami penundaan. Sementara itu, inflasi meningkat mencapai tiga digit, jumlah pengangguran meledak mencapai belasan juta, dan sekitar 100 juta orang atau separuh penduduk Indonesia berada di tepi jurang kemiskinan.
Pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Untuk pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional sesuai dengan pasal 8 UUD 1945. Namun sebaliknya untuk pihak yang kontra menganggap bahwa pengangkatan B.J Habibie dianggap tidak konstitusional. Tiga hari setelah dilantik menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia, di sela-sela beredarnya berbagai opini publik yang bernada merendahkan atas kemampuan B.J Habibie memimpin bangsa Indonesia, Presiden B.J Habibie segera membentuk suatu kabinet yang disebut Kabinet Reformasi Pembangunan dalam waktu kurang dari satu hari. Tugas pokok kabinet tersebut adalah menyiapkan proses reformasi :
a.     Di bidang politik antara lain dengan memperbaharui berbagai perundang-undangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada pemilu sebagaimana yang di amanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara.
b.    Di bidang hukum antara  lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi.
c.     Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian Undang-Undang yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
Disamping itu, dalam bidang ekonomi, pemerintah juga akan memberikan perhatian khusus terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),  revitalisasi lembaga perbankan dan keuangan nasional, serta program-program yang menyentuh masyarakat banyak.
Kemudian pada tanggal 25 Mei 1998 Presiden Habibie mengadakan sidang kabinet bersama para menteri di sebelah ruang kerja Presiden di Bina Graha. Dalam sidang kabinet tersebut, Presiden Habibie menyampaikan sasaran kerja. Khususnya dalam bidang ekonomi, Presiden menetapkan dua sasaran utama, yaitu:
1)    Mengatasi masalah-masalah mendesak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi;
2)    Melanjutkan dan mempercepat langkah-langkah reformasi ekonomi.
Masalah-masalah mendesak yang menjadi perhatian dan perlu di tangani adalah :
1)    Memulihkan kepercayaan kepada rupiah dan mengendalikan laju inflasi;
2)    Menggerakan kembali roda produksi dan arus perdagangan, yang akhir-akhir ini mengalami berbagai hambatan;
3)    Mendorong bidang-bidang kegiatan ekonomi yang dapat bangkit kembali dalam waktu singkat, termasuk sektor pertanian dan agrobisnis, industri ekspor, industri yang memanfaatkan sumber daya alam dan sektor pariwisata;
4)    Mengamankan pelaksanaan APBN;
5)    Memberikan perhatian khusus kepada golongan masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi dengan memprioritaskan program-program padat karya, menyediakan kebutuhan pokok (khususnya bahan makanan dan obat-obatan) serta mendukung usaha kecil, koperasi, dan kegiatan ekonomi rakyat, serta mengembangkan dan meningkatkan peranan bank-bank perkreditan rakyat;
6)    Mempercepat penyelesaian bank-bank yang berada dibawah pengawasa BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam rangka pembenahan sektor perbankan;
7)    Mempercepat upaya mengatasi masalah utang luar negeri swasta;
8)    Meningkatkan upaya untuk memperkuat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat internasional, terutama negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga keuangan internasional;
9)    Melengkapi dan memperbaharui perangkat perundang-undangan yang di perlukan untuk menunjang proses reformasi ekonomi.
Presiden Habibie juga memisahkan Bank Indonesia dari Kabinet Reformasi Pembangunan. Alasannya karena keadaan Indonesia pada saat itu sangat tidak menentu, sehingga Presiden harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, peran BI akan lebih pasti dan harus dikelola oleh tim yang profesional serta berdedikasi tinggi. Tim tersebut harus dapat berkarya menghadapi kendala politik, bebas berfikir dan beranalisis murni secara profesional, yang tentu saja tidak boleh di atur dan di arahkan oleh Presiden yang kedudukannya sangat politis dan kepentingannya mungkin dapat bertentangan dengan hasil analisis dan kebijakan profesional. Dengan kata lain, tim pimpinan BI harus memberi perhatian penuh pada tugas yang diharapkan oleh rakyat, yaitu menghasilkan mata uang rupiah yang kuat, nilai tukar yang stabil dan berkualitas tinggi. Sehingga untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan bank sentral yang memiliki kedudukan yang independen.
Selain itu, dalam upaya menanggulangi masalah pengangguran, pemerintah telah melakukan Program Penanggulangan Dampak Kekeringan Dan Mengurangi Kemiskinan (PDKMK) dan Program Penanggulangan Penganggur Terampil (P3T). Dalam perjalanannya, PDKMK telah dapat menyerap 3.429.000 selama 3-4 bulan, sedangkan untuk P3T dapat mempekerjakan sebanyak 70.000 orang tenaga kerja terampil pada lembaga ekonomi produktif yaitu koperasi dan perusahaan kecil menengah maupun wirausaha baru.
Hingga akhirnya, melalui pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan dan segala kebijakan-kebijakannya dalam memimpin suatu negara, Presiden Habibie telah membawa perubahan yang signifikan bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi. Banyak keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai, diantaranya :
a.     Kembalinya kepercayaan terhadap bangsa Indonesia, baik dari masyarakat Indonesia maupun dunia internasional. Dengan pulihnya kepercayaan secara bertahap, maka nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil dan secara bertahap membaik dan akhirnya mencapai tingkat wajar. Hal ini telah meredam tekanan inflasi, sehingga laju inflasi terus menurun. Harga barang-barang pokok, serta subsidi yang harus di sediakan juga menurun secara bertahap. Menurunnya inflasi diikuti dengan menurunnya tingkat suku bunga dan hal ini juga mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri;
b.    Nilai rupiah mengalami penguatan, inflasi menurun tajam, dan ketersediaan serta distribusi kebutuhan pokok tidak lagi menjadi permasalahan. Pada periode Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2%, padahal laju inflasi pada periode sebelumnya sebesar 75,47%. Ditinjau dari indeks harga konsumen, harga-harga pada bulan September 1999 dibandingkan dengan harga pada bulan yang sama tahun sebelumnya hanya naik 1,25%. Padahal setahun sebelumnya, harga-harga naik 82,4% dibandingkan harga-harga pada bulan september 1997. Penurunan tingkat inflasi yang sangat berarti ini terjadi bukan karena penurunan daya beli, tetapi terutama disebabkan oleh perbaikan nilai tukar rupiah dan keseimbangan antara ketersediaan pasokan dengan kebutuhan pangan, serta lancarnya distribusi 9 bahan pokok. Nilai tukar rupiah menurun hingga mendekati Rp. 6.000 per dollar AS, sekalipun pernah melemah hingga mencapai Rp. 9.000 per dollar AS akibat kekacauan yang terjadi di Timor Timur.
c.     Membaiknya perbankan Indonesia, pemerintah telah melakukan upaya merestrukturisasi sektor perbankan, dari 160 bank komersial yang beroprasi pada bulan Juli 1997, 48 bank telah dilikuidasi, 16 bank diambil alih dan 11 bank direkapitalisasi dengan bantuan pemerintah. Aset-aset bank yang dibekukan diambil alih dan dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Jumlah aset perbankan yang telah dialihkan ke badan tersebut sampai saat ini telah mencapai Rp. 350 triliun, yang kemudian aset-aset ini ditawarkan kepada investor. Investor asing mulai berminat, bahkan beberapa diantaranya telah mengambil alih saham bank. Ini berarti telah mulai kembalinya aliran modal ke dalam negeri.
d.    Kembali berjalannya usaha kecil, menengah dan koperasi; pemerintah telah memprioritaskan kelompok usaha ini dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat dikarenakan kelompok usaha ini merupakan 99% dari pelaku ekonomu nasional dan menyerap sekitar 88% tenaga kerja. Untuk membantu usaha kecil dan menengah pemerintah telah melakukan penyederhanaan perizinan agar dapat meringankan beban mereka. Selain itu pemerintah juga telah menyediakan berbagai program penyaluran kredit untuk membantu mereka dalam memeperoleh modal usaha.
e.     Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran; seiring mulai berjalanannya kegiatan ekonomi di dunia usaha, angka pengangguran pun semakin berkurang. Pada tahun 1998, perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK sebanyak 922 kasus meliputi 121.686 orang. Sementara pada tahun 1999 turun menjadi 117 kasus meliputi 16.000 pekerja. Dengan demikian, dari tahun 1998 sampai dengan 1999, terdapat penurunan Pemutusuan Hubungan Kerja sebesar 805 kasus. Penururnan kasus PHK tersebut disebabkan karena mulai membaiknya kondisi perekonomian. Data tersebut adalah resmi yang dipergunakan di Bappenas dan Departemen lainnya bersumber pada Biro Pusat Statistik. Sementara itu dari data survei yang dilakukan pada bulan Agustus 1999, dibandingkan dengan hasil survei yang sama pada bulan Desember 1998, terindikasikan penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 12 juta jiwa, sehingga jumlah total penduduk miskin diperkirakan sebesar 35 juta jiwa atau sebesar 17,6% dari total penduduk Indonesia. Data ini memberikan indikasi bahwa penekanan laju inflasi sangat membantu meringankan beban penduduk miskin.




BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tentu saja sering mengalami krisis moneter. Krisis moneter yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Padahal sebelumnya ,pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada saat itu sangat mengesankan, bahkan mendapat pujian dari Bank Dunia sebagai negara Asia berkinerja tinggi.
Namun, ketika krisis finansial mulai melanda kawasan Asia yang di awali dengan melemahnya nilai tukar Thailand baht terhadap dollar AS, menyebabkan mata uang dollar semakin menguat dan akhirnya berimbas ke rupiah. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah merosot, dari Rp. 2.500 per dollar AS, menjadi Rp. 3.000 per dollar AS pada minggu ke dua Juli 1997. Bank Indonesia berusaha membuat kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, namun krisis moneter, yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan, membuat nilai rupiah semakin sulit dikontrol.
Langkah Presiden Soeharto mengundang Dana Moneter Internasional pada 8 Oktober 1997 tidak banyak membantu, justru sebaliknya semakin menambah beban hutang yang harus di tanggung rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah menutup 16 bank membuat pelaku usaha semakin hilang arah. Nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp. 5.097 per dollar AS. Pada 8 Januari 1998, rupiah semakin melemah menjadi Rp. 9.800 per dollar AS dan mencapai Rp. 11.050 pada akhir Januari 1998.
Jika di cermati, krisis moneter yang terjadi di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh krisis finansial yang melanda kawasan Asia saja, tetapi juga di sebabkan oleh fundamental ekonomi Indonesia yang lemah. Selain itu, akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dollar menyebabkan Indonesia kesulitan membayar hutang luar negeri yang sudah menumpuk sebelum krisis moneter terjadi. Hal ini akhirnya berdampak pada kegiatan ekonomi di dalam negeri. Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK, yang akhirnya semakin menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Selain itu, harga bahan-bahan pokok pun meroket naik dan mengalami kelangkaan. Angka kemiskinan semakin bertambah. Banyak rakyat Indonesia yang menderita.
Hal ini akhirnya memicu kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan para cendikiawan dan mahasiswa, yang menuntut Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Rangkaian aksi kerusuhan mencapai puncaknya dengan meletusnya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Pada waktu itu, mahasiswa Universitas Trisakti sedang melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka di hadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang mengakibatkan tewasnya empat orang mahasiswa akibat tembakan peluru tajam.
Kerusuhan juga berlangsung di beberapa daerah, telah menimbulkan korban ratusan jiwa dan harta benda. Aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga tindakan asusila, menimbulkan kesedihan dan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia.
Dengan kondisi negara yang kacau balau, diantara para demonstran yang tidak juga berhenti melakukan kerusuhan, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya yang kemudian di gantikan oleh B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden.
Walaupun banyak masyarakat yang meragukan kemampuannya untuk memimpin bangsa Indonesia, tetapi B.J Habibie telah menunjukan beberapa prestasinya yang mengesankan. Jika di bandingkan dengan kondisi Indonesia pada saat mengalami krisis moneter tahun 1997, pada tahun 1999 telah mengalami perbaikan yang berarti. Pada masanya, Presiden B.J Habibie telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat Indonesia. Nilai tukar rupiah kembali menguat serta laju inflasi mulai stabil, bahkan berkisar pada 2% saja. Selain itu kondisi perbankan di Indonesia mulai kembali sehat.


B.     Saran
Kita sebagai generasi muda hendaknya mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada saat indonesia mengalami krisis moneter. Berfikir sebelum bertindak sangat diperlukan. Jangan sampai mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo yang berakhir dengan anarkis sehingga memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah hendaknya lebih memperhatikan sistem perekonomian di indonesia sehingga krisis moneter seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 tidak terulang kembali.