Arumi merasakan
sedikit rasa sakit dikepalanya saat ia terbangun. Sejenak ia mengingat-ngingat
dengan apa yang telah ia lakukan tadi malam. Hampir semalaman penuh Arumi
mengurung dirinya di dalam kamar berkutat dengan laptopnya dan ia hanya akan keluar
untuk mengambil air minum atau makanan ringan yang menjadikannya teman pengisi
perut di tengah tugasnya yang menumpuk. Benar. Ia hanya mendapatkan jatah
beberapa jam saja untuk tertidur. Dan saat ini, kepalanyan terasa sakit
karenanya. Arumi meringis. Ini sudah menjadi hal biasa untuknya di saat
tugas-tugas itu mulai menyerangnya untuk dikerjakan. Dan ia tak pernah bisa
berhenti sebelum rasa kantuk dan lelah benar-benar ia rasakan.
Dengan
malas-malasan Arumi bangkit dari tidurnya dan segera membuka jendela kamarnya. Ia
memejamkan matanya seraya menghirup udara kota tokyo di musim panas yang mulai
terbiasa dengan tubuhnya. Ia tersenyum. Walaupun belum sepenuhnya ia terbiasa,
namun mengingat kali pertama ia menginjakan kakinya di negri sakura ini cukup
menggelikan. Ia cukup kewalahan mengatasi udara musim panas di sana. Indonesia memang
beriklim tropis dan harusnya ia terbiasa dengan udara panas. Namun sayangnya
musim panas di Jepang sangatlah berbeda. pada bulan pertama saja, ia sama
sekali tak mampu menghabiskan waktu sepanjang hari diluar. Ia akan pulang lebih
cepat ketimbang mahaiswa lainnya. Namun seiring waktu berlalu ia sedikit mulai
terbiasa. dan ia harus menyiapkan dirinya di musim yang lain. masih ada 3 musim
yang tersisa. Dan ia benar-benar tak sabar menunggu datangnya musim semi
disana.
Serasa bermimpi.
Ia tak pernah membayangkan akan menginjakan kakinya di Jepang, negara yang selau
menjadi impiannya di masa lalu. perjuangan kerasnya selama ini akhirnya
membuahkan hasil. Ia meraih beasiswa untuk menjadi salah satu mahasiswa disana
di salah satu perguruan tinggi ternama. Walaupun begitu ia harus mengorbankan
sesuatu yang berharga untuknya karena harus meninggalkan ayahnya seorang diri
di negara kelahirannya. Dan itu tak jarang membuatnya khawatir, mengingat tak
akan ada yang menghentikan ayahnya jika ia bekerja terlalu keras. Ayahnya memang
tak pernah bisa diam. Diantara beberapa ratus karyawan yang dimilikinya, ia
akan ikut menyibukan diri. Memang di indonesia ayahnya memiliki sebuah restoran
yang dirintis bersama ibunya yang sudah terkenal dan memiliki cabang
dimana-mana. Karena memasak adalah hidupnya, ayahnya pun selalu ikut andil
dalam penyajian setiap masakan yang disajikan. Mendadak ia merindukan
indonesia. Merindukan ayahnya juga makanan favoritnya.
Ketika tenggorokannya terasa kering, Arumi
memutuskan untuk pergi ke bawah setelah memastikan masih cukup banyak waktu
yang tersisa untuknya sebelum ia pergi ke universitas. Dengan sedikit memukul
kepalanya ia berjalan gontai menuruni tangga. Ia menghentikan langkahnya
sejenak dan kemudian mendongakkan kepalanya ke arah kamar yang lain untuk
memastikan sesuatu. Dengan sedikit cemberut ia menampakan ekspresi berfikir.
‘tidak pulang lagi?’ tanyanya dalam hati sembari mengerutkan kening ketika
matanya melihat sebuah kamar tanpa cahaya lampu. Ia benar-benar tak mengerti
dengan rumah ini. ia memang tak hidup seorang diri disana, namun ia benar-benar
merasa sendiri. Ia merasa berdampingan dengan seorang patung hidup. Apalagi
kalau bukan begitu? ketika Arumi hanya dapat melihatnya bergerak namun nyaris
tak pernah mendengarnya berkata.
Ada yang lain
dengan pria yang berada satu atap dengannya selama 3 bulan terakhir ini. ia
begitu dingin dan sangat jarang bicara. Tatapan yang selalu diberikan pria itu
seolah mengandung makna ‘terganggu’ dan ‘kekesalan’ yang tak ia mengerti. Pria
itu seolah enggan mengajaknya bicara atau sekedar bertukar sapa, dan Arumi
hanya akan mendengarnya berkata jika ia bertanya. Terkadang ia merasa
benar-benar kesepian. Mengapa ayahnya begitu tega membiarkan ia hidup bersama
seorang pria yang tak pernah tahu bagaimana caranya berucap? Hanya karena pria
itu merupakan anak dari teman lamanya, ayahnya tanpa khawatir menitipkan ia
bersama pria itu. jujur saja ia akui, Arumi memang merasa senang ketika tanpa
diduga pria yang dulu tanpa sengaja pernah bertabrakan dengannya di halaman
rumah—pria yang ia anggap sebagai cinta pada pandangan pertamanya—akan tinggal
satu atap dengannya selama ia berada di Jepang. Tetapi setelah mengetahui sosok
pria itu yang sebenarnya, Arumi sedikit kecewa. Mengapa ia harus mencintai pria
yang sama sekali tak pernah bisa melihatnya? Seorang pria yang bahkan selalu
menatapnya dengan tatapan yang selalu membuatnya tak nyaman.
Cinta
pada pandangan pertama memang sulit diterima oleh akal, namun kau tak akan
percaya sebelum mengalaminya sendiri. Arumi tahu tak ada hal seperti itu di
dunia ini, ‘cinta pada pandangan pertama? Hanya dengan pertama kali kau
melihatnya, kau akan jatuh cinta? Mustahil sekali’ itulah yang selalu ia
lontarkan dihadapan teman-temannya, setidaknya sebelum ia bertemu dengan pria
itu. namun pertemuan tanpa sengaja dengan pria itu telah merubah pola fikirnya
tentang arti dari cinta pada pandangan pertama. Ia sedikit meragukan
pendapatnya di masalalu, karena tanpa diduga saat ini ia telah mengalaminya
sendiri. ‘cinta pada pandangan pertama? Aku telah mengalaminya’.
Dan tanpa
diduga Arumi kembali bertemu dengannya. Ia tak pernah tahu, bahwa pertemuan
mereka yang pertama bukanlah kebetulan, namun memang pada saat itu pria itu
datang menemui ayahnya tanpa sepengetahuan Arumi. Ia mengira, pria itu hanya
kebetulan melewati rumahnya sehingga mereka bertemu tanpa sengaja. Ia tak henti
tersenyum jika mengingat hal itu, mengingat kenyataan bahwa ia menabrak Akiro
akibat kecerobohannya sendiri. Dan tanpa diduga, tanpa rasa marah Akiro justru
membantunya berdiri dan menyunggingkan senyuman yang membuatnya tak bisa
melupakan pria itu. bahkan sampai saat
ini, ketika ia kembali bertemu dengannya dengan sosok yang berbeda Arumi tetap
saja selalu merindukannya.
Arumi menoleh
ketika segelas air dingin telah meluncur melewati tenggorokannya. Ia mendengar
suara pintu terbuka dan tak lama seorang pria yang tengah di fikirkannya mulai
menampakkan sosoknya.
“kau tak
pulang lagi?” tanyannya pada pria itu yang hanya di jawab dengan gumaman
seperti biasa. Pria itu tak memandangnya sedikitpun. Ia hanya menghampirinya dan
mengambil segelas air putih.
“jika kau
tidak pulang, sebenarnya kemana kau pergi?” Akiro—pria itu—menoleh sesaat untuk
menatap wanita di sampingnya dengan tatapan terganggu sebelum ia kembali
meneguk air putih yang berada di tangannya. Arumi mengalihkan tatapannya.
Lagi-lagi tatapan itu.
“bukan
urusanmu” jawabnya enteng. Ia berjalan menjauhi Arumi dan mulai menyalakan
televisi yang berada tak jauh darinya. Ia membuka jaketnya yang sedari tadi
menyelimuti tubuhnya. Arumi menatapnya dengan kening berkerut.
“bukan
urusanku? Jelas itu urusanku. Akiro-nii apa kau tidak khawatir sedikitpun
ketika meninggalkanku di rumah seorang diri?”
“kau sudah
cukup dewasa untuk menjaga dirimu sendiri. Lagipula kau tak perlu khawatir, kau
tahu keamanan disini sangat terjamin”
Arumi
mendengus. Arumi tahu ia tak perlu khawatir dengan keamanan dari tempat tinggal
yang ia tempati saat ini. namun tidakkah pria itu mengerti? yang Arumi inginkan
lebih dari itu. ia hanya merasa kesepian dan menginginkan seorang teman yang
dapat ia ajak untuk bicara. Walaupun Arumi tahu, keberadaan Akiro disana tak
membantu sama sekali.
Arumi
menyimpan gelas yang sedari tadi berada di tangannya dengan keras ke atas meja,
sehingga menimbulkan bunyi yang dapat di dengar oleh Akiro. Pria itu tak
bereaksi sama sekali walaupun ia tahu bahwa gadis itu tengah merasa kesal
karenanya.
“baiklah
sepertinya kau tidak mengerti apa yang ku maksud” Arumi mulai berjalan mengahampiri
Akiro yang tengah menikmati salah satu acara di televisi. Ia sama sekali tak
bergeming ketika Arumi duduk di sampingnya. Arumi menatapnya dengan seksama,
namun pria itu tak bereaksi sama sekali. Ia menghela nafas. “kau tahu aku hanya
merasa tak memiliki teman seorang pun. Aku benar-benar merasa kesepian padahal
aku tak sendiri disini” Arumi memulai percakapannya, berharap pria itu akan
berkata lebih banyak dari biasanya. Ia berharap mendapatkan penjelasan.
“aku tak
pernah melarangmu untuk membawa temanmu ke rumah ini” lagi-lagi berkata tanpa
melihatnya. Arumi mulai merasa kesal. Sosoknya yang tak pernah di acuhkan
sebelumnya merasa kesulitan untuk menahan diri dari rasa marah yang ia pendam
terhadap pria di sampingnya. Rasanya ingin saat itu juga ia meluapkan semua
yang ia pendam selama ini.
“bukankah
selama ini aku hidup denganmu? mengapa aku harus membawa teman yang lain,
sementara masih ada yang bisa kujadikan seorang teman?”
Akiro tak
menjawab, ia hanya menoleh dengan tatapan andalannya. Kali ini Arumi memberanikan
diri untuk membalas tatapannya yang selalu membuatnya tak nyaman itu. dan tak
lama ia mendengar Akiro mendengus dengan keras. Pria itu mengalihkan tatapannya
dan mulai berdiri.
“aku lelah”
Ia mulai
melangkah meninggalkan Arumi namun segera ditahannya dengan meraih tangannya.
Entah apa yang telah membuatnya berani melakukan itu. sebelumnya, sesering apapun
Akiro menghindarinya, Arumi tak pernah memiliki keberanian untuk menahannya
pergi. Namun kali ini, dibalik rasa penasaran dan tak nyaman yang selalu
merasukinya, ia telah berhasil menahannya disana. Akiro berbalik menatap Arumi
dengan dahi berkerut.
“katakan
padaku. Apakah kau merasa terganggu dengan kehadiranku di rumah ini?”
Akiro masih
menatapnya dengan tatapan heran namun tak kunjung bicara. Ia mengalihkan
tatapannya untuk melihat tangan Arumi yang menahannya. Namun Akiro merasakan
cengkraman yang semakin kuat ketika ia mencoba melepaskan tangan wanita itu
dari tangannya. Dengan sedikit kesal Akiro berkata.
“apa yang kau
inginkan?”
“kau berhenti
bersikap dingin padaku dan menjawab pertanyaanku”
Akiro
mendecak.”keinginan yang cukup sulit”
“apa kau
bilang? Sesulit itukah kau bersikap biasa padaku?” Arumi bertanya tak precaya. Sebenarnya
pria itu menganggap dirinya apa? Hama yang mengganggukah?.
“ku harap kau
mengerti tanpa harus ku jawab”
“apa?”
Tanpa Arumi
sadari cengkraman tangannya pada pria itu melonggar seiring dengan perkataannya
yang membuat Arumi tak mengerti. Akiro berhasil melepaskan dirinya dan mulai
berjalan meninggalkan Arumi yang masih terlihat berfikir. ‘kau mengerti tanpa
harus ku jawab? Apa maksudnya?’. Ia mulai tersadar ketika melihat Akiro yang
mulai menjauh dan segera berlari untuk mengejarnya. Sembari merentangkan
tangannya Arumi kembali menahan Akiro.
“apakah itu
artinya kau merasa terganggu dengan keberadaanku?” Arumi benar-benar tak
mengerti dengan pria ini. apa yang salah dengan dirinya sehingga dia bersikap
seperti itu padanya?. “apa yang salah dengan diriku? Apakah aku terlalu berisik
untukmu?”
Akiro terlihat
tersenyum namun dengan senyuman sinis. Ia menyentuh tembok disamping kanannya
dengan keras cukup mengagetkan Arumi yang berada di depannya. Akiro kembali
menatap gadis itu.
“haruskah aku
berkata bahwa aku merasa terganggu dengan perjodohan kita?”
“ya?” Arumi
menampakan ekspresi polosnya sebelum ia dapat mencerna keseluruhan dari makna
kata perjodohan. “perjodohan? Ap-apa maksudmu?” seketika ia bereaksi berlebihan
ketika mulai mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu. ia sedikit terkejut. Apa
maksudnya dengan perjodohan? Dia dan pria itu? bagaimana mungkin?
Akiro kembali
menyunggingkan senyuman sinisnya. “tak perlu berpura-pura. Kau tak mungkin tak mengetahui
masalah ini. kau mengerti bukan? Aku hanya merasa terganggu dengan perjodohan
kita. Itulah alasan mengapa aku kesulitan untuk bersikap biasa padamu” Akiro
berjalan melewati Arumi tanpa memperdulikannya sedikitpun. Ia memejamkan
matanya. bersikap dingin kepada wanita itu bukanlah keinginan hatinya. Namun
tak ada yang dapat ia lakukan jika mengingat tentang perjodohan mereka yang
sama sekali tak dapat ia terima. Bagaimana mungkin ia dapat bersikap biasa? Ia
berada satu rumah dengan calon istri yang dijodohkan orang tuanya, sementara
dalam hatinya ia memiliki wanita lain yang ia harapkan menjadi calon istinya
kelak..
***
Gadis itu
memaksakan diri membuka matanya yang terasa begitu menempel. Ia sedikit mengerutkan
dahi ketika matanya yang mulai terbuka menangkap sebuah ruangan yang sesaat
terasa asing untuknya. Beberapa detik setelahnya ia mulai ingat dimana ia
berada. Ia hanya bisa memukul kepalanya pelan karena kembali tertidur di
ruangan itu. ia tak pernah mengerti bagaimana ruangan itu dapat menjadi nyaman
untuknya disaat kepalanya dan matanya mulai terasa berat diwaktu yang
bersamaan. Ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain dan mendapati
seorang pria berkemeja putih tengah duduk membelakanginya.
Arumi tersenyum.
Ia tak menyangka akan bertemu dengan sosok sensei yang saat ini tengah
membelakanginya. Ia benar-benar sosok yang mengasykkan. Walaupun umur mereka
terbilang cukup jauh—10 tahun, tapi pria itu memiliki pesona yang luar biasa,
sehingga mampu membuat murid-muridnya tergila-gila tanpa alasan. Itu cukup
aneh, mengingat dirinya sendiri merasa biasa-biasa saja dengan pria ini.
walaupun Arumi tak bisa menyangkal kenyataan, bahwa dirinya juga mengakui
ketampanan dan pesona yang dimiliki senseinya itu. Tapi sungguh itu tak membuat Arumi terpikat sama
sekali. Namun satu hal yang selalu membuat Arumi merasa heran. Melihat kenyataan
bahwa banyak wanita cantik dan mapan disekelilingnya yang bahkan mengantri
untuk dapat berkencan dengannya, senseinya itu masih hidup seorang diri. Dan
setiap kali Arumi bertanya, pria itu hanya menjawab dengan tawaan tanpa
mendapat jawaban yang memuaskan.
“lagi-lagi aku tertidur” Arumi bergumam namun
cukup terdengar oleh pria yang berada tak jauh darinya. Tanpa Arumi sadari pria
itu membalikan tubuhnya dan menatap Arumi yang tengah mengucek matanya. pria
itu tersenyum dan menggelengkan kepala seperti biasa.
“kau sudah
bangun?”
Arumi mengangguk.
“mengapa sensei tidak membangunkanku?. Pada akhirnya aku selalu tertidur disini“
ucap Arumi sambil memajukan bibirnya. Tangannya kembali mengucek-ngucek
matanya.
Pria itu—Kazuto,
berjalan mendekati Arumi dan menyenderkan tubuhnya pada dinding di hadapan Arumi.
“kau terlihat lelah. Aku tak tega membangunkanmu. Begadang lagi eh ?”
Arumi tersenyum
seolah membenarkan apa yang senseinya itu tanyakan. Senseinya—Kazuto, memang
sudah mengetahui kebiasaannya. Arumi tanpa sengaja selalu tertidur di ruangannya
ketika ia menyerahkan tugas ataupun bertanya-tanya untuk meminta
bantuannya. Dan kali ini kebiasaan itu
terulang kembali.
Arumi hanya
menganguk untuk menjawab pertanyaan dari Kazuto.
Dan Kazuto
hanya mengangkat kedua alisnya lalu menglihkan tatapannya dari Arumi. muridnya
ini sangat keras kepala, dan ketika Kazuto bersiap untuk membuka mulutnya Arumi
menyela.
“ya aku
tahu..aku tahu..kau pasti akan mengatakan bahwa aku ini murid yang keras kepala“
Arumi berucap tanpa memandang Kazuto, sementara Kazuto hanya tersenyum tipis
mendengar apa yang Arumi ucapkan. Ucapan yang selalu ia katakan jika Arumi
tertidur di ruangannya dan mendapati lingkaran berwarna hitam dibawah mata
gadis itu.
“kau tahu, aku
selalu mencoba untuk tidak menganggu waktu tidurku. Tapi tetap saja sulit aku
lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa tertdur sementara banyak tugas yang masih
menunggu untuk aku kerjakan?”
“kau terlalu
memaksakan diri“ balas Kazuto lalu meletakan sebuah tugas yang tadi Arumi
serahkan padanya ke atas meja. tatapan Arumi mengikuti gerakan tangan senseinya
lalu mendengus. “dan pada akhirnya kau selalu tertidur di ruanganku. Apa kau
fikir ini adalah kamarmu?”
Arumi
tersenyum menahan malu. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“gomen. Hari
ini aku benar-benar merasa lelah sensei“
Kazuto menggelengkan
kepalanya. “sebaiknya kau segera pulang dan beristirahat. Apa kau sudah makan
siang?”
Arumi
menggeleng dan tiba-tiba saja ia ingat pada janjinya untuk pergi makan siang
bersama Keiko. “aku melupakan sesuatu“ teriak Arumi segera merogoh ponsel dalam
sakunya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab serta pesan dari nomor yang
sama. Keiko. Arumi memukul kepalanya sendiri mengingat temanya itu mungkin
sudah dari tadi menunggunya. Sementara Kazuto heran melihat tingkah Arumi.
“ada apa?”
“aku berjanji
untuk makan siang bersama Keiko-san, tapi karena aku tertidur mungkin Keiko-san
sudah menungguku dari tadi“. Arumi segera berdiri dan mencari tasnya. Ketika ia
sudah menemukannya,Arumi berbalik “apa kau sudah makan siang sensei?”
Kazuto menggeleng.
Lalu Arumi tersenyum. “kalau begitu ikutlah bersama kami. Kita makan siang
bersama“
Kazuto
mendudukan tubuhnya diatas kursi lalu membuka beberapa tugas yang berada di
atas mejanya. “aku masih memiliki sesuatu yang harus aku kerjakan. Sebaiknya
kau cepat pergi, bukankah Keiko sudah menunggumu?”
Arumi menaikan
alis dan memajukan bibirnya. “mengusirku eh?”
Kazuto
mengangkat kepalanya lalu menatap Arumi sekilas yang kini tengah berdiri dihadapannya
dengan ekspresi yang menurutnya lucu. Ia kemudian terkekeh ketika mengingat
kembali apa yang ia katakana sebelumnya.
“kau tahu
maksudku bukan seperti itu. kau harus segera mengisi perutmu, tadi pagi kau
pasti tidak sarapan bukan?”
Arumi
membenarkan perkataan senseinya. “kau selalu memberiku nasihat, tapi kau
sendiri tak begitu memperhatikan dirimu. Sebaiknya kau ikut makan siang bersama
kami“
Kazuto
tersenyum lalu menatap mata bulat Arumi. “aku sudah mengatakannya padamu, masih
ada sesuatu yang harus aku kerjakan“
Arumi mencibir.
Bagaimana mungkin senseinya itu mengatakan bahwa ia adalah murid yang keras
kepala, tanpa menyadari dirinya yang juga seperti itu?. Arumi memutuskan untuk menyerah
dan membiarkan senseinya berkutat dengan sesuatu yang harus dikerjakannya mengingat
Keiko yang sudah menunggunya dari tadi.
“baiklah kalau
begitu. Aku pergi. Jangan lupa untuk menikmati makan siangmu“ Arumi berbalik
dan mendekati pintu, membukanya lalu kemudian menutupnya dari luar. Kazuto yang
menyaksikannya hanya tersenyum.
Ah gadis itu.
mengapa ia begitu terlihat menarik dimatanya?
Bersambung...