Selasa, 17 Juni 2014

Cerbung: 4 Seasons; 1


Arumi merasakan sedikit rasa sakit dikepalanya saat ia terbangun. Sejenak ia mengingat-ngingat dengan apa yang telah ia lakukan tadi malam. Hampir semalaman penuh Arumi mengurung dirinya di dalam kamar berkutat dengan laptopnya dan ia hanya akan keluar untuk mengambil air minum atau makanan ringan yang menjadikannya teman pengisi perut di tengah tugasnya yang menumpuk. Benar. Ia hanya mendapatkan jatah beberapa jam saja untuk tertidur. Dan saat ini, kepalanyan terasa sakit karenanya. Arumi meringis. Ini sudah menjadi hal biasa untuknya di saat tugas-tugas itu mulai menyerangnya untuk dikerjakan. Dan ia tak pernah bisa berhenti sebelum rasa kantuk dan lelah benar-benar ia rasakan.
Dengan malas-malasan Arumi bangkit dari tidurnya dan segera membuka jendela kamarnya. Ia memejamkan matanya seraya menghirup udara kota tokyo di musim panas yang mulai terbiasa dengan tubuhnya. Ia tersenyum. Walaupun belum sepenuhnya ia terbiasa, namun mengingat kali pertama ia menginjakan kakinya di negri sakura ini cukup menggelikan. Ia cukup kewalahan mengatasi udara musim panas di sana. Indonesia memang beriklim tropis dan harusnya ia terbiasa dengan udara panas. Namun sayangnya musim panas di Jepang sangatlah berbeda. pada bulan pertama saja, ia sama sekali tak mampu menghabiskan waktu sepanjang hari diluar. Ia akan pulang lebih cepat ketimbang mahaiswa lainnya. Namun seiring waktu berlalu ia sedikit mulai terbiasa. dan ia harus menyiapkan dirinya di musim yang lain. masih ada 3 musim yang tersisa. Dan ia benar-benar tak sabar menunggu datangnya musim semi disana.
Serasa bermimpi. Ia tak pernah membayangkan akan menginjakan kakinya di Jepang, negara yang selau menjadi impiannya di masa lalu. perjuangan kerasnya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Ia meraih beasiswa untuk menjadi salah satu mahasiswa disana di salah satu perguruan tinggi ternama. Walaupun begitu ia harus mengorbankan sesuatu yang berharga untuknya karena harus meninggalkan ayahnya seorang diri di negara kelahirannya. Dan itu tak jarang membuatnya khawatir, mengingat tak akan ada yang menghentikan ayahnya jika ia bekerja terlalu keras. Ayahnya memang tak pernah bisa diam. Diantara beberapa ratus karyawan yang dimilikinya, ia akan ikut menyibukan diri. Memang di indonesia ayahnya memiliki sebuah restoran yang dirintis bersama ibunya yang sudah terkenal dan memiliki cabang dimana-mana. Karena memasak adalah hidupnya, ayahnya pun selalu ikut andil dalam penyajian setiap masakan yang disajikan. Mendadak ia merindukan indonesia. Merindukan ayahnya juga makanan favoritnya.
 Ketika tenggorokannya terasa kering, Arumi memutuskan untuk pergi ke bawah setelah memastikan masih cukup banyak waktu yang tersisa untuknya sebelum ia pergi ke universitas. Dengan sedikit memukul kepalanya ia berjalan gontai menuruni tangga. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan kemudian mendongakkan kepalanya ke arah kamar yang lain untuk memastikan sesuatu. Dengan sedikit cemberut ia menampakan ekspresi berfikir. ‘tidak pulang lagi?’ tanyanya dalam hati sembari mengerutkan kening ketika matanya melihat sebuah kamar tanpa cahaya lampu. Ia benar-benar tak mengerti dengan rumah ini. ia memang tak hidup seorang diri disana, namun ia benar-benar merasa sendiri. Ia merasa berdampingan dengan seorang patung hidup. Apalagi kalau bukan begitu? ketika Arumi hanya dapat melihatnya bergerak namun nyaris tak pernah mendengarnya berkata.
Ada yang lain dengan pria yang berada satu atap dengannya selama 3 bulan terakhir ini. ia begitu dingin dan sangat jarang bicara. Tatapan yang selalu diberikan pria itu seolah mengandung makna ‘terganggu’ dan ‘kekesalan’ yang tak ia mengerti. Pria itu seolah enggan mengajaknya bicara atau sekedar bertukar sapa, dan Arumi hanya akan mendengarnya berkata jika ia bertanya. Terkadang ia merasa benar-benar kesepian. Mengapa ayahnya begitu tega membiarkan ia hidup bersama seorang pria yang tak pernah tahu bagaimana caranya berucap? Hanya karena pria itu merupakan anak dari teman lamanya, ayahnya tanpa khawatir menitipkan ia bersama pria itu. jujur saja ia akui, Arumi memang merasa senang ketika tanpa diduga pria yang dulu tanpa sengaja pernah bertabrakan dengannya di halaman rumah—pria yang ia anggap sebagai cinta pada pandangan pertamanya—akan tinggal satu atap dengannya selama ia berada di Jepang. Tetapi setelah mengetahui sosok pria itu yang sebenarnya, Arumi sedikit kecewa. Mengapa ia harus mencintai pria yang sama sekali tak pernah bisa melihatnya? Seorang pria yang bahkan selalu menatapnya dengan tatapan yang selalu membuatnya tak nyaman.
  Cinta pada pandangan pertama memang sulit diterima oleh akal, namun kau tak akan percaya sebelum mengalaminya sendiri. Arumi tahu tak ada hal seperti itu di dunia ini, ‘cinta pada pandangan pertama? Hanya dengan pertama kali kau melihatnya, kau akan jatuh cinta? Mustahil sekali’ itulah yang selalu ia lontarkan dihadapan teman-temannya, setidaknya sebelum ia bertemu dengan pria itu. namun pertemuan tanpa sengaja dengan pria itu telah merubah pola fikirnya tentang arti dari cinta pada pandangan pertama. Ia sedikit meragukan pendapatnya di masalalu, karena tanpa diduga saat ini ia telah mengalaminya sendiri. ‘cinta pada pandangan pertama? Aku telah mengalaminya’.
Dan tanpa diduga Arumi kembali bertemu dengannya. Ia tak pernah tahu, bahwa pertemuan mereka yang pertama bukanlah kebetulan, namun memang pada saat itu pria itu datang menemui ayahnya tanpa sepengetahuan Arumi. Ia mengira, pria itu hanya kebetulan melewati rumahnya sehingga mereka bertemu tanpa sengaja. Ia tak henti tersenyum jika mengingat hal itu, mengingat kenyataan bahwa ia menabrak Akiro akibat kecerobohannya sendiri. Dan tanpa diduga, tanpa rasa marah Akiro justru membantunya berdiri dan menyunggingkan senyuman yang membuatnya tak bisa melupakan pria itu.  bahkan sampai saat ini, ketika ia kembali bertemu dengannya dengan sosok yang berbeda Arumi tetap saja selalu merindukannya.
Arumi menoleh ketika segelas air dingin telah meluncur melewati tenggorokannya. Ia mendengar suara pintu terbuka dan tak lama seorang pria yang tengah di fikirkannya mulai menampakkan sosoknya.
“kau tak pulang lagi?” tanyannya pada pria itu yang hanya di jawab dengan gumaman seperti biasa. Pria itu tak memandangnya sedikitpun. Ia hanya menghampirinya dan mengambil segelas air putih.
“jika kau tidak pulang, sebenarnya kemana kau pergi?” Akiro—pria itu—menoleh sesaat untuk menatap wanita di sampingnya dengan tatapan terganggu sebelum ia kembali meneguk air putih yang berada di tangannya. Arumi mengalihkan tatapannya. Lagi-lagi tatapan itu.
“bukan urusanmu” jawabnya enteng. Ia berjalan menjauhi Arumi dan mulai menyalakan televisi yang berada tak jauh darinya. Ia membuka jaketnya yang sedari tadi menyelimuti tubuhnya. Arumi menatapnya dengan kening berkerut.
“bukan urusanku? Jelas itu urusanku. Akiro-nii apa kau tidak khawatir sedikitpun ketika meninggalkanku di rumah seorang diri?”
“kau sudah cukup dewasa untuk menjaga dirimu sendiri. Lagipula kau tak perlu khawatir, kau tahu keamanan disini sangat terjamin”
Arumi mendengus. Arumi tahu ia tak perlu khawatir dengan keamanan dari tempat tinggal yang ia tempati saat ini. namun tidakkah pria itu mengerti? yang Arumi inginkan lebih dari itu. ia hanya merasa kesepian dan menginginkan seorang teman yang dapat ia ajak untuk bicara. Walaupun Arumi tahu, keberadaan Akiro disana tak membantu sama sekali.
Arumi menyimpan gelas yang sedari tadi berada di tangannya dengan keras ke atas meja, sehingga menimbulkan bunyi yang dapat di dengar oleh Akiro. Pria itu tak bereaksi sama sekali walaupun ia tahu bahwa gadis itu tengah merasa kesal karenanya.
“baiklah sepertinya kau tidak mengerti apa yang ku maksud” Arumi mulai berjalan mengahampiri Akiro yang tengah menikmati salah satu acara di televisi. Ia sama sekali tak bergeming ketika Arumi duduk di sampingnya. Arumi menatapnya dengan seksama, namun pria itu tak bereaksi sama sekali. Ia menghela nafas. “kau tahu aku hanya merasa tak memiliki teman seorang pun. Aku benar-benar merasa kesepian padahal aku tak sendiri disini” Arumi memulai percakapannya, berharap pria itu akan berkata lebih banyak dari biasanya. Ia berharap mendapatkan penjelasan.
“aku tak pernah melarangmu untuk membawa temanmu ke rumah ini” lagi-lagi berkata tanpa melihatnya. Arumi mulai merasa kesal. Sosoknya yang tak pernah di acuhkan sebelumnya merasa kesulitan untuk menahan diri dari rasa marah yang ia pendam terhadap pria di sampingnya. Rasanya ingin saat itu juga ia meluapkan semua yang ia pendam selama ini.
“bukankah selama ini aku hidup denganmu? mengapa aku harus membawa teman yang lain, sementara masih ada yang bisa kujadikan seorang teman?”
Akiro tak menjawab, ia hanya menoleh dengan tatapan andalannya. Kali ini Arumi memberanikan diri untuk membalas tatapannya yang selalu membuatnya tak nyaman itu. dan tak lama ia mendengar Akiro mendengus dengan keras. Pria itu mengalihkan tatapannya dan mulai berdiri.
“aku lelah”
Ia mulai melangkah meninggalkan Arumi namun segera ditahannya dengan meraih tangannya. Entah apa yang telah membuatnya berani melakukan itu. sebelumnya, sesering apapun Akiro menghindarinya, Arumi tak pernah memiliki keberanian untuk menahannya pergi. Namun kali ini, dibalik rasa penasaran dan tak nyaman yang selalu merasukinya, ia telah berhasil menahannya disana. Akiro berbalik menatap Arumi dengan dahi berkerut.
“katakan padaku. Apakah kau merasa terganggu dengan kehadiranku di rumah ini?”
Akiro masih menatapnya dengan tatapan heran namun tak kunjung bicara. Ia mengalihkan tatapannya untuk melihat tangan Arumi yang menahannya. Namun Akiro merasakan cengkraman yang semakin kuat ketika ia mencoba melepaskan tangan wanita itu dari tangannya. Dengan sedikit kesal Akiro berkata.
“apa yang kau inginkan?”
“kau berhenti bersikap dingin padaku dan menjawab pertanyaanku”
Akiro mendecak.”keinginan yang cukup sulit”
“apa kau bilang? Sesulit itukah kau bersikap biasa padaku?” Arumi bertanya tak precaya. Sebenarnya pria itu menganggap dirinya apa? Hama yang mengganggukah?.
“ku harap kau mengerti tanpa harus ku jawab”
“apa?”
Tanpa Arumi sadari cengkraman tangannya pada pria itu melonggar seiring dengan perkataannya yang membuat Arumi tak mengerti. Akiro berhasil melepaskan dirinya dan mulai berjalan meninggalkan Arumi yang masih terlihat berfikir. ‘kau mengerti tanpa harus ku jawab? Apa maksudnya?’. Ia mulai tersadar ketika melihat Akiro yang mulai menjauh dan segera berlari untuk mengejarnya. Sembari merentangkan tangannya Arumi kembali menahan Akiro.
“apakah itu artinya kau merasa terganggu dengan keberadaanku?” Arumi benar-benar tak mengerti dengan pria ini. apa yang salah dengan dirinya sehingga dia bersikap seperti itu padanya?. “apa yang salah dengan diriku? Apakah aku terlalu berisik untukmu?”
Akiro terlihat tersenyum namun dengan senyuman sinis. Ia menyentuh tembok disamping kanannya dengan keras cukup mengagetkan Arumi yang berada di depannya. Akiro kembali menatap gadis itu.
“haruskah aku berkata bahwa aku merasa terganggu dengan perjodohan kita?”
“ya?” Arumi menampakan ekspresi polosnya sebelum ia dapat mencerna keseluruhan dari makna kata perjodohan. “perjodohan? Ap-apa maksudmu?” seketika ia bereaksi berlebihan ketika mulai mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu. ia sedikit terkejut. Apa maksudnya dengan perjodohan? Dia dan pria itu? bagaimana mungkin?
Akiro kembali menyunggingkan senyuman sinisnya. “tak perlu berpura-pura. Kau tak mungkin tak mengetahui masalah ini. kau mengerti bukan? Aku hanya merasa terganggu dengan perjodohan kita. Itulah alasan mengapa aku kesulitan untuk bersikap biasa padamu” Akiro berjalan melewati Arumi tanpa memperdulikannya sedikitpun. Ia memejamkan matanya. bersikap dingin kepada wanita itu bukanlah keinginan hatinya. Namun tak ada yang dapat ia lakukan jika mengingat tentang perjodohan mereka yang sama sekali tak dapat ia terima. Bagaimana mungkin ia dapat bersikap biasa? Ia berada satu rumah dengan calon istri yang dijodohkan orang tuanya, sementara dalam hatinya ia memiliki wanita lain yang ia harapkan menjadi calon istinya kelak..

***

Gadis itu memaksakan diri membuka matanya yang terasa begitu menempel. Ia sedikit mengerutkan dahi ketika matanya yang mulai terbuka menangkap sebuah ruangan yang sesaat terasa asing untuknya. Beberapa detik setelahnya ia mulai ingat dimana ia berada. Ia hanya bisa memukul kepalanya pelan karena kembali tertidur di ruangan itu. ia tak pernah mengerti bagaimana ruangan itu dapat menjadi nyaman untuknya disaat kepalanya dan matanya mulai terasa berat diwaktu yang bersamaan. Ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain dan mendapati seorang pria berkemeja putih tengah duduk membelakanginya.
Arumi tersenyum. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sosok sensei yang saat ini tengah membelakanginya. Ia benar-benar sosok yang mengasykkan. Walaupun umur mereka terbilang cukup jauh—10 tahun, tapi pria itu memiliki pesona yang luar biasa, sehingga mampu membuat murid-muridnya tergila-gila tanpa alasan. Itu cukup aneh, mengingat dirinya sendiri merasa biasa-biasa saja dengan pria ini. walaupun Arumi tak bisa menyangkal kenyataan, bahwa dirinya juga mengakui ketampanan dan pesona yang dimiliki senseinya itu. Tapi  sungguh itu tak membuat Arumi terpikat sama sekali. Namun satu hal yang selalu membuat Arumi merasa heran. Melihat kenyataan bahwa banyak wanita cantik dan mapan disekelilingnya yang bahkan mengantri untuk dapat berkencan dengannya, senseinya itu masih hidup seorang diri. Dan setiap kali Arumi bertanya, pria itu hanya menjawab dengan tawaan tanpa mendapat jawaban yang memuaskan.
 “lagi-lagi aku tertidur” Arumi bergumam namun cukup terdengar oleh pria yang berada tak jauh darinya. Tanpa Arumi sadari pria itu membalikan tubuhnya dan menatap Arumi yang tengah mengucek matanya. pria itu tersenyum dan menggelengkan kepala seperti biasa.
“kau sudah bangun?”
Arumi mengangguk. “mengapa sensei tidak membangunkanku?. Pada akhirnya aku selalu tertidur disini“ ucap Arumi sambil memajukan bibirnya. Tangannya kembali mengucek-ngucek matanya.
Pria itu—Kazuto, berjalan mendekati Arumi dan menyenderkan tubuhnya pada dinding di hadapan Arumi. “kau terlihat lelah. Aku tak tega membangunkanmu. Begadang lagi eh ?”
Arumi tersenyum seolah membenarkan apa yang senseinya itu tanyakan. Senseinya—Kazuto, memang sudah mengetahui kebiasaannya. Arumi tanpa sengaja selalu tertidur di ruangannya ketika ia menyerahkan tugas ataupun bertanya-tanya untuk meminta bantuannya.  Dan kali ini kebiasaan itu terulang kembali.
Arumi hanya menganguk untuk menjawab pertanyaan dari Kazuto.
Dan Kazuto hanya mengangkat kedua alisnya lalu menglihkan tatapannya dari Arumi. muridnya ini sangat keras kepala, dan ketika Kazuto bersiap untuk membuka mulutnya Arumi menyela.
“ya aku tahu..aku tahu..kau pasti akan mengatakan bahwa aku ini murid yang keras kepala“ Arumi berucap tanpa memandang Kazuto, sementara Kazuto hanya tersenyum tipis mendengar apa yang Arumi ucapkan. Ucapan yang selalu ia katakan jika Arumi tertidur di ruangannya dan mendapati lingkaran berwarna hitam dibawah mata gadis itu.
“kau tahu, aku selalu mencoba untuk tidak menganggu waktu tidurku. Tapi tetap saja sulit aku lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa tertdur sementara banyak tugas yang masih menunggu untuk aku kerjakan?”
“kau terlalu memaksakan diri“ balas Kazuto lalu meletakan sebuah tugas yang tadi Arumi serahkan padanya ke atas meja. tatapan Arumi mengikuti gerakan tangan senseinya lalu mendengus. “dan pada akhirnya kau selalu tertidur di ruanganku. Apa kau fikir ini adalah kamarmu?”
Arumi tersenyum menahan malu. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“gomen. Hari ini aku benar-benar merasa lelah sensei“
Kazuto menggelengkan kepalanya. “sebaiknya kau segera pulang dan beristirahat. Apa kau sudah makan siang?”
Arumi menggeleng dan tiba-tiba saja ia ingat pada janjinya untuk pergi makan siang bersama Keiko. “aku melupakan sesuatu“ teriak Arumi segera merogoh ponsel dalam sakunya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab serta pesan dari nomor yang sama. Keiko. Arumi memukul kepalanya sendiri mengingat temanya itu mungkin sudah dari tadi menunggunya. Sementara Kazuto heran melihat tingkah Arumi.
“ada apa?”
“aku berjanji untuk makan siang bersama Keiko-san, tapi karena aku tertidur mungkin Keiko-san sudah menungguku dari tadi“. Arumi segera berdiri dan mencari tasnya. Ketika ia sudah menemukannya,Arumi berbalik “apa kau sudah makan siang sensei?”
Kazuto menggeleng. Lalu Arumi tersenyum. “kalau begitu ikutlah bersama kami. Kita makan siang bersama“
Kazuto mendudukan tubuhnya diatas kursi lalu membuka beberapa tugas yang berada di atas mejanya. “aku masih memiliki sesuatu yang harus aku kerjakan. Sebaiknya kau cepat pergi, bukankah Keiko sudah menunggumu?”
Arumi menaikan alis dan memajukan bibirnya. “mengusirku eh?”
Kazuto mengangkat kepalanya lalu menatap Arumi sekilas yang kini tengah berdiri dihadapannya dengan ekspresi yang menurutnya lucu. Ia kemudian terkekeh ketika mengingat kembali apa yang ia katakana sebelumnya.
“kau tahu maksudku bukan seperti itu. kau harus segera mengisi perutmu, tadi pagi kau pasti tidak sarapan bukan?”
Arumi membenarkan perkataan senseinya. “kau selalu memberiku nasihat, tapi kau sendiri tak begitu memperhatikan dirimu. Sebaiknya kau ikut makan siang bersama kami“
Kazuto tersenyum lalu menatap mata bulat Arumi. “aku sudah mengatakannya padamu, masih ada sesuatu yang harus aku kerjakan“
Arumi mencibir. Bagaimana mungkin senseinya itu mengatakan bahwa ia adalah murid yang keras kepala, tanpa menyadari dirinya yang juga seperti itu?. Arumi memutuskan untuk menyerah dan membiarkan senseinya berkutat dengan sesuatu yang harus dikerjakannya mengingat Keiko yang sudah menunggunya dari tadi.
“baiklah kalau begitu. Aku pergi. Jangan lupa untuk menikmati makan siangmu“ Arumi berbalik dan mendekati pintu, membukanya lalu kemudian menutupnya dari luar. Kazuto yang menyaksikannya hanya tersenyum.
Ah gadis itu. mengapa ia begitu terlihat menarik dimatanya?

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar