Selasa, 30 Desember 2014

Catatan Malam Kemarin



Malam ini menjadi puncak dari kejenuhanku berada disini. Rasanya aku sangat berharap bumi akan menelanku saat ini juga. Kota yang telah memberikan sejuta kenangan selama aku berada disini, kini menjadi sesuatu yang membosankan dalam waktu semalam. Aku baru saja akan menginjakkan kakiku keluar bila saja ingatan tentang tugas-tugas kuliah itu tak pernah mampir dalam ingatanku. Ah, baiklah. Sepertinya cukup untuk malam ini aku harus bertahan dengan rasa jenuhku. Aku akan mengalah padanya dan mulai memerankan peranku sebagai seorang pelajar yang baik. Aku segera bergegas mencari pena yang ternyata nyaris sulit aku temukan. Aku mengutuk dalam hati. Sebenarnya apa yang telah aku lakukan selama ini? Bahkan untuk sebuah pena pun, sesuatu yang sangat sering aku gunakan menjadi begitu sulit aku temukan.
Setelah cukup lama membongkar barang-barang pribadiku, akhirnya aku menemukan sesuatu yang aku cari. namun ketika aku berbalik aku cukup terkagum ketika melihat isi kamarku setelahnya. Aku menggelengkan kepala, rasanya menyulap sebuah ruangan rapi dan bersih menjadi sebuah kapal pecah adalah keahlianku sebenarnya. Mungkin setelah ini, aku harus mulai memikirkan bagaimana caranya mengembangkan bakat yang aku miliki ini sejak bayi. Aku menghela nafas, malam ini benar-benar akan menjadi malam yang panjang untukku. Rasa jenuh masih menemaniku dan aku berharap ia akan segera pergi setelah aku bersahabat dengan si pena dan buku. Dengan sisa semangat yang aku miliki, aku segera mengerjakan tugas yang seharusnya aku selesaikan beberapa minggu yang lalu itu diiringi dengan alunan lagu-lagu ungu yang sontak membuatku mengantuk. Aku segera men-setting ulang laptopku dan menambahkan satu album paramore dalam daftar playlist ku. Aku bersorak. Nah, ini baru keren!
Satu-dua halaman aku masih bertahan dengan tugasku. Aku mencoba membakar semangat lewat lagu-lagu paramore yang mengiringiku malam ini. Namun sayangnya itu hanya bertahan beberapa menit karena selanjutnya aku mulai melemparkan pena ku dan berguling di atas kasur. Rasanya ini bukan malam yang pas untuk bercinta dengan tugas. aku tengah berada di titik jenuh yang paling menjenuhkan. Aku sangat membutuhkan udara malam saat ini juga. Namun ketika aku melihat jam di ponselku, ini sudah terlalu larut untukku menginjakkan kaki keluar. Ayolah,apakah tak ada yang dapat aku lakukan malam ini? Hanya untuk sekedar membuang rasa jenuhku. Dan aku sedikit menyesal karena aku telah menolak permintaan seseorang yang mengajakku keluar sore tadi. Hanya demi sebuah tugas!. mungkin jika saja aku turuti permintaannya aku tak akan terjebak disini. Terjebak diruangan sempit dengan bau kejenuhan yang sangat mencekam. Oh..aku hanya bisa mengerang prustasi. Selanjutnya aku bersumpah dalam hati. Esok, jika aku membiarkan diri kembali terjebak disini, akan ku pastikan aku akan mati terbunuh oleh kejenuhan!

Cerpen: That's Love! #1


Ada dua hal yang tak ku mengerti saat ini. pertama, aku tak mengerti bagaimana cara bumi ini berputar sehingga aku dipertemukan dengan seorang pria—tidak, maksudku bocah yang selalu membuatku sakit kepala. Kedua, disaat aku dengan sadar, merasakan dengan jelas bagaimana selama ini aku begitu terganggu dengan kehadirannya, yang paling tidak aku mengerti, saat ini, aku terjebak disebuah restoran yang mengharuskanku duduk berdua dengannya.  Entah mengapa rasanya begitu sulit untukku menghindari bocah ini, ia seolah menggunakan trik khusus yang selalu menghipnotisku untuk menuruti keinginannya walaupun hatiku ingin menolak.
“jadi, apa kau selamanya akan seperti ini?” aku mencoba membuka suara semenjak beberapa menit yang lalu aku hanya menatapnya dan tak berucap sama sekali. Kulihat bocah itu mengalihkan perhatiannya sejenak dari ponsel ditangannya untuk menatapku, namun hanya beberapa detik.
“apanya yang seperti ini?”
Aku mendengus kesal. “ayolah. Kau tahu maksudku. Kau tak mungkin terus seperti ini selamanya bukan? kau hanya akan membuang waktumu dengan menunggu sesuatu yang tak mungkin terjadi. Sebaiknya kau cepat mencari wanita lain, karena aku tak memiliki waktu untuk bermain-main denganmu”
Deva Mahendra—nama bocah itu diam tak bergeming seolah tak mendengar ucapanku. Ponsel ditangannya menjadi lebih menarik daripada kehadiranku sendiri. Aku menghela nafas lebih panjang, mencoba menetralisir kekesalanku pada bocah itu. Baiklah aku akui. Sungguh berlebihan jika aku masih menganggapnya seorang bocah. Ia sudah cukup usia untuk dikatakan seorang pria, tapi tidak berlaku untukku yang saat ini tengah berusia 26 tahun dan akan menginjak 27 di bulan agustus tahun depan. Ia lebih pantas untuk menjadi adikku dibanding menjadi seorang kekasih yang selalu ia ucapkan. Dan tentu saja, ditengah usiaku yang tak muda lagi aku tak memiliki waktu untuk terus bermain-main. Aku harus lebih serius memikirkan masa depanku, dan aku tak mungkin memilih seorang pria yang lima tahun lebih muda dariku untuk ku jadikan seorang suami.
Merasa di abaikan, aku mencoba merebut ponsel darinya dan deva cukup terkejut dengan apa yang aku lakukan. Ia menatapku tak mengerti seolah berkata “apa yang kau lakukan”, namun entah mengapa detik berikutnya kulihat ia malah tersenyum. Baiklah kembali aku akui. Bocah itu memiliki senyuman yang cukup menggoda, dan mungkin aku akan terjerat oleh pesonanya jika saja aku tak pernah tahu berapa usia bocah itu sebenarnya. Aku sedikit menyesalinya, memang. Tapi tidaaaakkk! Cukup sampai disini. Aku tak akan pernah melanggar prinsip hidupku selama ini.
“apa kau tak dapat bertanya hal lain? misalnya seperti, mengapa aku dilahirkan begitu tampan dan semacamnya? Ayolah, kau sudah terlalu sering bertanya hal ini. dan kau tahu jawabanku akan sama sampai kapanpun”
Aku tersenyum ketus, tak mengerti bagaimana bocah sepertinya bisa memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi ketika berhadapan dengan wanita yang lebih tua darinya.  Bahkan selama ini ia selalu memperlakukanku seperti seorang wanita seusianya karena ia selalu berbicara informal denganku bahkan tak pernah memanggilku kakak atau semacamnya seperti yang seharusnya ia lakukan.
well, kau tahu persis, seorang bocah tak akan mudah membuatku tertarik”
Dave menatapku, mengangkat tangannya untuk menopang dagunya. “benarkah? Jika memang seperti itu, maka aku akan membuatnya mudah untukmu” dengan mengedipkan sebelah mata Dave tersenyum nakal yang nyaris membuat jantungku terjatuh. Aku tersenyum terkejut seolah tak dapat berkata apa-apa. Aku mulai merasakan sedikit ancaman bahaya darinya.
“kau—“
“dan jangan anggap ini sebuah permainan. Apa kau fikir aku sedang bermain-main denganmu? berhentilah mengeluh dan cepat habiskan makananmu”
“hey...”aku sedikit kesal—tidak, aku sudah sangat kesal selama ini. bagaimana mungkin bocah sepertinya berani memerintahku seperti itu? yang benar saja!
Aku memejamkan mataku sejenak seraya meraih sepotong kentang goreng yang baru saja tiba dimeja kami. “Dave, apa kau selalu seperti ini sebelumnya? Apakah mengejar wanita tua menjadi kebiasaanmu selama ini?”
Kulihat ia tersendat dalam makannya seolah terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku mengangkat alis tak mengerti. “waaah, apa kau benar-benar merasa tua sekarang?”
“hanya denganmu saja aku merasa menjadi wanita tua. Kumohon jangan seperti ini. kau memiliki waktu yang berharga yang lebih baik kau habiskan bersama wanita yang lebih pantas denganmu”
“hey, kita hanya berselisih lima tahun, apakah itu sebuah kesalahan ketika aku menginginkanmu? Apakah aku terlihat begitu polos sehingga kau berfikir aku tak pantas untukmu?”
Tidak. Dave cukup dewasa untukku walaupun sikap kekanak-kanakannya tak mudah disembunyikan. Hanya saja aku tak dapat mengabaikan bagaimana jauhnya selisih usia kami. Sejak dulu, aku memang tak mudah untuk menjalin hubungan bahkan tertarik dengan seorang pria di bawah umurku. Lagipula, semua ini tak akan menjadi mudah jika benar-benar aku lanjutkan.
“kau benar-benar menjadi sumber sakit kepalaku sekarang”
“mungkin itu karena kau mulai tertarik padaku” Dave kembali menyunggingkan senyuman nakalnya yang hanya dibalas cibiran olehku. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap percaya dirinya walaupun tak jarang membuatku kesal.
 “ah satu hal yang harus kau tahu. Jika tadi kau bertanya padaku apakah aku selalu seperti ini sebelumnya maka jawabannya tidak. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya sampai aku bertemu denganmu. jadi jangan salahkan aku. Salahkan takdir dan dirimu sendiri karena kau menjadi begitu menarik untuk ku kejar selama ini”
“hah, kau berkata seolah kau lebih dewasa dariku” berhenti sejenak untuk melihat Dave yang tengah tersenyum. “baiklah. Itu hanya akan menjadi masalahmu. Jadi jangan salahkan aku jika aku tetap mengabaikan perasaanmu”
“tidak. Tidak akan. Karena aku tahu kau tak akan pernah bisa mengabaikan perasaanku”
Aku sudah lelah berdebat sehingga aku hanya mampu tersenyum dan mulai menyentuh makananku. Kulihat Dave kembali berkonsentrasi dengan makanan dihadapannya. Cukup lama kami tak bersuara seolah lelah dengan perdebatan yang baru saja terjadi.
“apa yang akan kau lakukan minggu depan?”
Aku mengangkat kepala dari makananku dan berpura-pura berfikir.
“jika kau tak datang mengganggu waktu tenangku, kau tahu hal apa yang paling mungkin aku lakukan”
“apakah tak ada hal lain yang dapat kau lakukan selain menghabiskan waktu liburmu dengan tidur?”
Aku menggeleng seraya tersenyum. Dave sudah begitu tahu bagaimana kebiasaanku. Entah mengapa aku tak canggung-canggung menunjukan sisi lain dari diriku padanya. Dan lebih mengherankan lagi Dave seolah tak bermasalah dengan semua kebiasaanku yang memalukan.
“teman kakakku akan menikah minggu depan. Apakah kau bisa menemaniku?”
Aku menggeleng dengan cepat. “tidak”
“oh ayolah Els” lagi-lagi Dave memohon dengan wajah tanpa dosanya, dan akan aku pastikan aku tak akan tergoda lagi untuk menuruti keinginannya kali ini. “apa kau tega membiarkanku pergi seorang diri ketika disana aku akan menyaksikan orang-orang berpasangan?”
Aku menghentikan aktivitasku sejenak dan menghela nafas. “aku bukan pasanganmu Dave, ingat itu. dan jika kau merasa perlu, aku bisa menyarankanmu untuk membawa gadis-gadis lain yang selalu kau kencani selama ini”
“itu tak akan membantu. Kakakku ingin bertemu denganmu”
“apa?” aku cukup terkejut dengan apa yang diucapkannya. “mengapa dia ingin bertemu denganku?”
Dave mengangkat bahu seolah tak tahu. “mungkin dia cukup bosan dan penasaran karena aku tak pernah berhenti berceloteh tentangmu. Jadi sebaiknya kau turuti permintaannya”
Aku diam sejenak mencoba berfikir. Dave memang sudah memberitahuku bahwa ia selalu bercerita tentangku pada kakaknya sampai hal terkecil sekalipun, tapi aku tak mengerti mengapa saudaranya itu ingin bertemu denganku. Selama ini, yang selalu membuatku enggan ketika Dave mengajakku menemui keluarganya adalah karena aku tahu akan seperti apa respon yang mereka berikan ketika mengetahui Dave—anak kesayangan mereka memiliki kelainan akut karena terobsesi dengan wanita yang lebih tua. Oke, aku tahu ini berlebihan jika aku katakan kelainan. Tapi tetap saja hal ini terasa aneh untukku.
“Els?”
“tidak Dave. Katakan permintaan maafku padanya. Ingat, sampai kapanpun aku tak akan memiliki niat untuk berhubungan serius denganmu, karena kau tahu aku harus lebih serius memikirkan masa depanku sekarang. Jadi aku sama sekali tak memiliki keharusan untuk bertemu dengan keluargamu”
Kulihat raut kekecewaan di wajah Dave. Dia menghembuskan nafas lebih keras. “Els aku tak akan membawamu pada keluargaku jika memang itu yang kau inginkan. Tapi ini hanya kakakku Els, kakakku. Anggap saja ini hanya pertemuan biasa, bukan pertemuan bersama salah satu keluarga seperti yang kau fikirkan. Walaupun kau berfikir tak akan pernah menjalin hubungan serius denganku, setidaknya tunjukan sisi kemanusiaanmu. Apa kau tega menolak permintaan seseorang yang ingin bertemu denganmu?”
Aku tahu ini hanyalah semacam trik yang disiapkan Dave untuk memaksaku menuruti permintaannya. Tapi aku pun tak dapat mengabaikan permintaan kakakknya walaupun sebenarnya aku sangat ingin menolak. Setidaknya aku harus menunjukan sopan santunku ketika seseorang dengan baik memintaku untuk bertemu.
“kumohon hanya kali ini saja. Jika kau merasa tak nyaman setelah bertemu dengan kakakku, aku tak akan memaksamu untuk bertemu dengan keluargaku lagi”
Aku menghembuskan nafas panjang. “mengapa kau selalu bersikeras membawaku pada keluargamu?”
Dave mengangkat bahu. “entahlah. Aku hanya merasa kau harus bertemu dengan mereka. Jadi bagaimana?”
Sepertinya aku harus menyerah. Setidaknya kali ini saja aku bertemu dengan kakaknya. “baiklah. Hanya sekali ini saja. Selanjutnya jangan pernah paksa aku untuk menuruti keinginanmu lagi”
“bingo!” Dave membentuk jari-jarinya menyerupai pistol dan menembakannya padaku. Aku hanya tersenyum ketus melihat perlakuannya yang kekanak-kanakkan namun tampak seksi itu. aku segera melihat jam tanganku ketika ku sadari kami sudah cukup lama berada disana.
“sebaiknya aku pulang. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan” aku mencoba bangkit namun tiba-tiba Dave menghalangi niatku.
“tunggu” Dave berucap seraya menghabiskan sisa minuman di tangannya. Ia meraih jaket dari sandaran kursi. “kau selalu saja pergi sesuka hatimu. Biar ku antar” ia menggenggam tanganku seraya membawaku bangkit. Aku sedikit risih diperlakukan seperti ini oleh seorang bocah. Aku mencoba melepaskan genggaman tanganku darinya, namun seperti yang kuduga ternyata tak akan mudah. Dave mulai membawaku berjalan sampai pada akhirnya tanpa sengaja aku menabrak bahu seorang wanita yang membuat langkahku berhenti.
Aku berbalik untuk meminta maaf, namun cukup terkejut ketika aku melihat seorang pria yang sangat ku kenal. kulihat ia juga terkejut ketika melihat keberadaanku disana.
“Elsa? Kau disini?”
Aku nyaris tanpa berkedip memandang secara bergantian dua orang manusia berlawanan jenis dihadapanku. Kulihat wanita yang tanpa sengaja kutabrak tadi menggandeng lengan pria disampingnya yang secara sadar membuat hatiku terluka. Kembali ku tatap mata Bastian yang masih terkejut karena pertemuan tanpa diduga ini. kulihat ia sedikit gugup.
“siapa Els?” Dave tiba-tiba bertanya mungkin ia menyadari kecanggungan diantara aku dan Bastian. Aku mencoba mengalihkan perhatianku padanya.
“temanku”
“temanmu?” kudengar suara ketidak percayaan darinya namun aku hanya menganguk. “ah, kenalkan deva tunangannya Elsa” Dave tanpa dosanya menjulurkan tengan memperkenalkan diri yang kemudian disambut oleh Bastian. Aku tahu Bastian terkejut ketika Dave berkata seperti itu, karena selama ini aku sangat dekat dengannya sehingga tentu saja ia tahu kehidupanku yang sebenarnya. Aku mengalihkan perhatianku untuk menatap Dave dengan tatapan tak suka, namun tanpa diduga ia malah merangkul bahuku sembari tersenyum dengan kedipan sebelah matanya.
“kufikir kau tampak lebih muda darinya” Bastian bertanya yang membuatku kembali mentapnya.
“aku tidak mengerti bagaimana orang lain berfikir, mengapa usia harus menjadi sebuah permasalahan?”
Bastian menatapku untuk mencari kejelasan, namun aku enggan membalas tatapannya karena aku merasa terluka. “ah tidak, tidak. bukan itu maksudku. Hanya saja aku sedikit tahu kehidupan elsa selama ini”
Aku tak terkejut ketika Bastian berkata seperti itu. kami sudah bersama-sama sejak masa kuliah dulu, dan sampai saat ini pun kami masih sering bertemu. aku sendiri tak cukup mengerti dengan hubungan yang terjalin diantara kami. walaupun tak pernah ada yang bicara diantara kami, namun aku merasa selama ini kami adalah pasangan yang saling mencintai walaupun hal itu mulai aku ragukan sekarang.
Dave mengeratkan rangkulannya di bahuku. “tak ada yang dapat menghentikan takdir seseorang. Seberapa sering kau menolak, kau tetap harus mengikuti takdir. Bukankah begitu, Els?”
Aku merasa tersindir, seolah Dave berkata seperti itu memang sengaja untuk ditujukan padaku. Aku tak merespon ucapannya. Aku hanya ingin segera pergi dari sini secepat mungkin.
“sebaiknya kita pergi Dave. Aku minta maaf tanpa sengaja menabrakmu” aku segera mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan meminta maaf pada seorang wanita yang datang bersama Bastian. Kulihat ia tersenyum namun entah mengapa terdapat raut ketidak sukaan di wajahnya dan aku tak peduli akan hal itu. Dave menahanku sesaat ketika aku mencoba berbalik.
“apakah wanita ini kekasihmu?” Dave menatap wanita dihadapannya dengan sopan dan kemudian ia tersenyum. “kau sangat cantik, Bastian tentu sangat beruntung memilikimu. Tapi sayangnya....kau tidak semenarik pengantinku” aku cukup terkejut mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Dave pada wanita itu yang sontak membuat wanita itu menampakan ekspresi kesal. Dave segera menarik bahuku setelah ia berpamitan untuk pergi. Aku menyempatkan diri untuk menatap Bastian yang tengah menatapku. Aku tak dapat menyembunyikan bahwa hatiku terluka olehnya. Bahkan ketika kami berpisah, aku tak dapat berkata apa-apa pada Bastian.
Selama perjalanan pulang aku tak dapat menahan amarahku dengan apa yang telah dilakukan Dave sebelumnya. Kami bertengkar cukup hebat walaupun pada akhirnya kulihat Dave mengalah di tengah amarahku. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku begitu marah, karena pada kenyataannya tak ada yang salah dengan apa yang Dave lakukan selain ia telah berkata bahwa aku sudah bertunangan dengannya. Mungkin aku hanya mencoba mengalihkan perasaanku yang terluka oleh Bastian, dan aku tak dapat menahannya sehingga Dave menjadi korban dari amukanku.
Aku mencoba untuk menahan diriku untuk tidak menangis. Sehingga ketika kami sampai di apartemenku, aku segera keluar dari mobil tanpa berkata sepatah kata pun pada Dave. Dave sendiri tak mengikutiku masuk dan aku beruntung karenanya. Aku segera memasuki kamarku dan mengabaikan lucy yang merasa heran dengan sikapku yang terburu-buru. Setibanya di kamar aku tak dapat menahan diriku lagi untuk tidak menangis. Aku menangis sejadi-jadinya malam itu mengingat bagimana Bastian telah mengkhianatiku. Aku benci padanya, pada semua yang telah ia lakukan padaku selama ini. aku benci pada diriku sendiri, bagaimana selama ini aku selalu berharap Bastian akan menjadi pendamping hiupku kelak. Aku menangis cukup keras dan Lucy mengetuk pintuku beberapa kali namun tetap ku abaikan. Aku tidak ingin bertemu bersama siapapun malam ini. aku hanya ingin sendiri, menikmati kesedihanku dengan menangis...
Paginya, ketika aku masih menikmati waktu tidurku dengan damai, aku mendengar suara ketukan di pintu yang membuatku merasa begitu terganggu. Dengan enggan aku mencoba bangkit dan segera menyentuh kepalaku yang terasa berat. Semalam, aku meangis terlalu lama dan aku terlelap tanpa sengaja, namun imbasnya suasana hatiku terasa membaik sekarang. Aku tak henti-hentinya merasa kagum dengan dahsyatnya efek menangis pada suasana hati seseorang. Karena setiap kali aku menangis, aku akan dengan mudah melupakan masalahku setelahnya. aku segera melupakan rasa kagumku sejenak karena suara ketukan di pintuku sangat mengganggu saat ini. aku mencoba menyeret langkahku, dan...
‘cup’
“pagi...” kulihat Dave tersenyum setelah mencium keningku dengan seenaknya ketika aku membuka pintu. Aku menatapnya kesal namun seperti yang kuduga ia hanya akan tersenyum tanpa berdosa. Tiba-tiba kejadian semalam teringat olehku, ketika tanpa sebab aku meluapkan amarahku padanya. Dave berlaku seolah tak ada hal yang terjadi hari ini. dan aku bersyukur, setidaknya itu sedikit mengurangi rasa bersalahku padanya.
“berhenti menciumku seperti itu Dave”
“kau lupa? Ku fikir aku sudah pernah memberitahumu. Kau akan mendapatkan ciuman dariku setiap kali aku kesini, dan kau akan mendapatkan ciuman tanpa batas dariku  jika kau menikah denganku”
Aku berbalik untuk menatapnya yang tengah bersandar pada pintu dan melipat kedua tanganya. Sesaat aku terpesona dengan penampilannya saat ini. Dave terlihat tampan dan selalu seperti itu setiap kali aku melihatnya. Namun dengan segera aku mengalihkan tatapanku darinya menyadari bahwa aku tak boleh berfikir seperti itu.
“omong kosong apa lagi yang kau katakan dipagi hari seperti ini” aku kembali berbalik dan menghampiri tempat tidurku. Segera ku tarik selimut mencoba memejamkan mataku. Ku dengar langkah kaki Dave mendekati.
“kau lebih baik membersihkan kamarmu daripada kembali tidur Els”
“aku selalu membersihkan kamarku di hari kedua waktu liburku. Jadi jangan ganggu aku. Aku hanya akan tidur hari ini”
Kurasakan tempat tidurku bergoyang sesaat dan aku tahu Dave yang melakukannya. Secara mendadak wangi parfum yang mulai akrab di hidungku tercium. Aku tahu Dave tengah duduk dihadapanku karena selanjutnya kurasakan ia menyentuh wajahku.
“apa kau baik-baik saja?”
Aku tahu Dave bertanya tentang kejadian semalam, dan aku hanya bergumam untuk menjawab pertanyaannya. Dave masih menyentuh wajahku dan sesekali menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi wajahku. Jujur saja, aku merasa nyaman dengan perlakuannya namun aku segera sadar bahwa rasa nyaman atas perlakuan Dave padaku merupakan sebuah masalah. Aku segera membuka mataku dan melotot padanya.
“Dave kau tahu ini hari libur. Aku hanya ingin tidur hari ini”
“kenapa? Apa aku membuat masalah?”
Aku mendengus kesal. “berhenti menggangguku. Kau membuatku tak nyaman”
Dave menatapku serius sebelum kemudian ia tertawa. Aku hanya mengerutkan sebelah alis dan mencoba bangkit untuk duduk.
“apakah ketidak nyamanan ku membuatmu lucu?”
Dave menghentikan tawanya dan kembali menatapku. ia meraih tanganku dan memainkannya. “tidak. aku hanya merasa senang, karena itu adalah sebuah tanda bahwa kau mulai tertarik padaku. Bukankah begitu?”
Aku tertawa ketus mendengar apa yang ia ucapkan. Dave begitu percaya diri, namun tanpa diduga perkataannya sedikit menggangguku. Mungkinkah aku mulai tertarik padanya? Seorang bocah? Tidak mungkin.
“kau memiliki tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi. Jangan biarkan rasa percaya dirimu mengecewakanmu nanti”
Dave tak merespon ucapanku, ia hanya tersenyum seolah merasa lelah untuk berdebat. Namun detik berikutnya Dave menyentuh kembali wajahku dan menatapku lebih serius.
 “apa semalam kau menangis? Matamu bengkak”
Aku segera menepis tangannya dari wajahku dan mengalihkan wajahku darinya. Aku melupakan kenyataan bahwa mataku akan terlihat mengerikan hari ini.
“aku begadang mengerjakan pekerjaanku”
“apa kau menangis karena pria itu? matamu tak akan bengkak seperti ini jika apa yang kau ucapkan memang benar”
Aku menatapnya kembali. “dengar. Aku tak memiliki alasan untuk menangisi pria itu. jadi berhenti bertanya”
Dave menatapku semakin tajam. “kau tak perlu menyembunyikannya dariku, setidaknya aku sedikit tahu apa yang terjadi diantara kalian walaupun aku tak mengerti hubungan apa yang kalian miliki. Kau tak cukup pintar menyembunyikan luka mu dariku. Apa kau fikir aku tak tahu apa yang menyebabkanmu marah semalam?. Lupakan dia Els, kau sudah tahu dengan jelas apa yang telah terjadi. itu hanya akan membuatku terluka, ketika mengetahui kau menangis karena pria lain”
Hatiku sedikit tersayat ketika mendengar kalimat terakhir yang Dave ucapkan. Entah mengapa aku merasakan sakit yang sama ketika mengetahui Dave terluka olehku. Aku tahu, aku hanya akan melukainya lebih banyak jika semua ini terus berlanjut dan aku tak ingin hal itu terjadi.
“Dave. Kau tahu aku hanya akan melukaimu. Aku tak ingin kau terlalu berharap karena kita tak akan mungkin untuk bersama. Sebaiknya kau hentikan semua ini sekarang sebelum kau terluka lebih banyak lagi olehku. Aku—“
Dave meremas tanganku lembut dan aku tak dapat meneruskan kata-kataku. Kulihat Dave masih menatapku dan tersenyum tipis.
“aku tak peduli jika aku benar-benar akan terluka olehmu. Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka oleh lelaki lain karena itu akan lebih melukaiku. Kumohon, jangan pernah memintaku berhenti. Aku akan terus seperti ini sampai kau dapat melihatku sebagai seorang pria yang pantas untuk kau cintai” Dave menyelipakan rambut yang menghalangi wajahku ke belakang telinga. Menyentuh mataku dan membelainya lembut. “dan saat itu kau akan tahu dan mengerti seberapa tulus aku mencintaimu selama ini” Dave kembali mencium keningku dan aku tak mencoba menghindar darinya. Aku merasa tersentuh dengan perlakuannya dan sebagai imbasnya aku tak mampu berkata apa-apa. Oh tuhan..aku benar-benar tak mengerti. Bagaimana mungkin seorang bocah mampu membuatku seperti ini?
“kau mengerti bukan?” aku tak menjawab ketika Dave menatapku dan aku hanya mengalihkan tatapanku untuk menghidarinya. Aku tak tahu harus berkata apa, karena pada kenyataannya Dave lebih keras kepala dari yang aku bayangkan. “sebaiknya kau mandi dan sarapan. Aku akan menunggumu diluar, hm?” Dave mencium bibirku sesaat dan menatapku dengan senyuman nakalnya. Aku menatapnya dengan tatapan kesal, mendorong tubuhnya untuk menjauh dariku. Dave tertawa melihat ekspresi kekesalanku dan aku tak dapat menahan diriku untuk meleparkan bantal yang berada di tanganku.
“Dave berhenti melakukan hal itu padaku!” aku berteriak karena kesal dan Dave berdiri mencoba menjauh dariku. Ia masih tertawa.
“mengapa? bukankah kau menikmatinya?”
“menikmati, pantatmu!. Kau lakukan sekali lagi, mati kau”
“hahaha. Padahal aku berniat melakukannya lebih lama lain kali. Jika kau membunuhku setidaknya aku akan mati bahagia”
“hey!!!!” aku berteriak semakin kencang karena kurasakan wajahku memanas karena malu. “DEVA MAHENDRA, KEMARI KAU!” aku mencoba berdiri untuk berlari menangkapnya, namun Dave dengan cerdik segera berlari dan menutup pintu dari luar. Aku tak menyerah, aku mencoba membuka pintu sebisa yang aku lakukan, dan Dave cukup gigih untuk tak membiarkanku berhasil membuka pintu. pada akhirnya aku menyerah pada perjuanganku sendiri. Aku menjatuhkan tubuhku dan bersandar pada pintu. tiba-tiba entah mengapa ucapan Dave tadi malam teringat olehku, ketika ia berkata bahwa aku lebih menarik dari wanita cantik yang datang bersama Bastian. aku tak dapat menahan diriku untuk tersenyum karenanya. Setidaknya ada satu hal yang aku sadari hari ini. aku merasa, ketika aku mulai terganggu oleh kehadiran dave, maka saat itulah sesungguhnya aku mulai menatapnya sebagai seorang pria.
Bersambung....



Cerpen: Dunia dalam Genggamanku



Kejadian malam itu seakan tak mau hilang dalam ingatanku. Malam dimana semua impian dan harapanku hilang dalam sekejap dan membuatku benar-benar prustasi. Ayah, sosok orang yang selalu menjadi kebanggaanku selama ini telah memupuskan semua harapan yang selalu ingin aku wujudkan. Tak pernah terbayangkan, sosok orang yang selalu menyanyangi dan mencintaiku lebih dari apapun itu telah berlaku setega ini terhadapku.
Namaku Ratih Widia Bhakti. Seperti anak-anak lainnya, aku terlahir sebagai seorang wanita yang memiliki berjuta impian. Aku terlahir diantara keluarga yang senantiasa selalu mendukung apa yang selalu aku impikan. Terlebih ayahku. Selama hidupku, ia tak pernah berhenti mengajarkan tentang arti dunia padaku. Tentang bagaimana kerasnya hidup ini sehingga aku harus mampu bertahan dalam menghadapi setiap permasalahan. Selama ini ia lah yang selalu ada disampingku ketika aku terjatuh karena kegagalanku. Dan selama ini pula ia yang selalu ada dibelakangku dalam setiap keberhasilanku.
Dulu kehidupanku sangatlah bahagia. Kasih sayang dari kedua orang tuaku tak pernah henti aku dapatkan. Ibu yang selalu mengusap air mataku disaat aku menangis, serta ayah yang selalu mendorongku untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Aku benar-benar beruntung telah dilahirkan dianatra keluarga yang begitu sangat menyayangiku. Keluarga yang benar-benar mengerti tentang apa yang aku butuhkan. Namun sayang, seiring berjalannya waktu tuhan berkehendak lain. Ia mencoba mencuri kebahagiaanku dengan menanamkan sebuah penyakit mematikan pada rahim ibuku. Sehingga ketika aku memasuki kelas 3 SMA aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Ibuku tak mampu bertahan dengan rasa sakit yang di deritanya, sementara ayahku..aku kehilangan sosoknya yang selalu aku banggakan selama ini.
 Mungkin karena begitu besarnya kecintaan ayah terhadap ibuku telah merubah dunianya. Ayah yang selalu mengajarkan aku tentang kerasnya sebuah kehidupan bukan lagi sosok yang aku kenal selama ini, ketika ibu meninggalkan kami tanpa kembali. ia berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam. Ia hanya berbicara padaku jika ia ingin menyampaikan sebuah nasihat, lalu selanjutnya ia pergi mengurung diri dalam dunianya sendiri, yang bahkan aku pun tak pernah diijinkan untuk memasuki dunianya. Ia mulai jarang memperhatikanku yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya. Dan semenjak itu keluargaku hancur. Ayah benar-benar kehilangan dirinya sehingga ia berhenti dari pekerjaannya. Ia selalu pulang larut malam dan mengurung diri di kamar. Bahkan lebih parah lagi ayahku pernah membentakku hingga aku menangis seorang diri dikamar. Aku benar-benar tertekan. Aku benar-benar tak memiliki siapapun saat ini.
Namun syukurlah, ditengah keadaan keluargaku yang begitu hancur, aku masih dapat mempertahankan prestasiku sehingga aku masih menjadi juara umum disekolahku. Aku masih memiliki kesempatan untuk membuat ayahku tersenyum dengan keberhasilanku. Dengan perasaan bahagia aku memeluk hasil perjuanganku selama ini, dan berniat untuk segera menunjukannya kepada ayahku. Namun sayang sesuatu tak terduga terjadi malam itu. Rasa kecewa mengahampiriku ketika aku mengaharapkan sebuah senyuman dari ayahku. Ia memberiku sebuah perintah yang tak aku mengerti. Ia memintaku untuk segera menikah ketika aku berharap akan mendapatkan dukungan darinya dengan semua cita-citaku.
Hingga terjadilah peristiwa malamitu. Kejadian yang menghancurkan seluruh impian dan cita-citaku. Sejak kecil aku selalu bercita-cita menjadi seorang ahli Hukum. Namun sayang, ayahku yang selalu mendukung apa yang aku cita-citakan, ternyata tidak memberikan dukungannya kali ini. ayahku meremehkan apa yang aku cita-citakan, dia malah menyuruhku untuk menikah. Menikah dengan duda kaya yang sama sekali tidak aku cintai.
Perlahan aku menyentuh pipiku yang mulai memanas. Masih aku rasakan bagaimana ayah melayangkan telapak tangannya hingga menyentuh keras pipiku ini. Aku langsung memalingkan wajahku keluar jendela. Gedung-gedung tinggi  berdiri  kokoh yang menjadi ciri khas kota Jakarta tak menarik perhatianku sedikitpun. Aku rasakan matakupun mulai memanas, pandanganku kabur oleh air mata. Tidak pernah terfikirkan sebelumnya, aku akan mewujudkan impianku dengan cara seperti ini. aku memutuskan untuk pergi tanpa sepengetahuan ayahku. Itu artinya aku tidak memiliki siapapun yang dapat mendukung keberhasilanku.
Bus yang aku tumpangi akhirnya tiba ditempat pemberhentian yang semestinya. Sambil mengusap air mata, aku bersiap-siap untuk turun dengan mengemasi tas bawaanku. Dengan menghela nafas aku pandangi suasana kota Jakarta ,tampak impian besarku mengambang dalam ingatan. Dengan tekad yang kuat aku mulai melangkahkan kakiku seraya berkata “ Jakarta aku datang untuk menggapai semua impian”
Cuaca panas, kemacetan dan polusi yang selama ini selalu akulihat dan dengar di televise kini aku rasakan secara langsung di kota besar ini. Berkali-kali aku menyeka keringat yang jatuh di wajahku. Dengan menenteng tas aku berjalan pasti untuk mencari tempat kos yang terbilang murah dan sesuai ,yang ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Namun, beberapa jam kemudian ketika hari mulai gelap aku baru menemukan tempat kos yang menurutku lumayan dengan harga dan keadaan. Setelah mengurus segala urusan pembayaran aku segera membentangkan sejadah dan pergi untuk shalat.

Perlahan ku buka mata, menatap seluruh suasana disekitarku yang terasa asing. Ya ! aku hampir saja lupa, ini adalah hari pertamaku di tempat yang baru. Aku belum memikirkan apa yang akan aku lakukan di hari pertamaku, mungkin hari ini aku akan membersihkan kamar kosku serta mengunjungi teman penghuni kos lainnya. Setelah mengumpulkan tenaga, aku bangun dari tempat tidur dan segera pergi keluar kamar.
Aku baru tersadar, ternyata tempat kosku berlantai 3. Ketika aku mulai menaiki anak tangga kelantai 3, aku mengurungkan niatku, ku fikir lebih baik mandi lebih dahulu sebelum menemui teman-teman yang lain. Aku kembali berbalik dan mulai menuruni anak tangga, ketika aku sampai di lantai dasar ,aku melihat seorang wanita muda sedang menjemur pakaian.
“ selamat pagi “ sapaku, wanita itu langsung menghentikan aktivitasnya dan menengok ke rahku.
“ eh anak baru ya? “ tanyanya, aku hanya tersenyum. Setelah melihat reaksiku yang secara tidak langsung mengatakan ‘iya’ ,dia kembali bertanya. “ sejak kapan? Ko baru liat ? “
“ baru kemarin teh ,maaf tidak sempat memperkenalkan diri “ jawabku. “ oh iya, nama saya Ratih “ aku langsung menyodorkan tanganku untuk bersalaman, dia menyambut tanganku.
“ Mira “ . katanya “ mau mandi ? ya udah mandi dulu,mumpung jambannya lagi kosong “ lanjutnya tersnyum. Aku hanyamenganguk .
Setelah aktivitas dipagi hari selesai,aku segera pergi keluar kamar dan menemui penghuni koslainnya. Namun pintu-pintu kamar kos terkunci ditinggalkan oleh para pemiliknya. Aku terus berjalan menelusuri lantai 2 itu, ketika aku sampai di kamar yang paling ujung aku melihat Mira yang tadi aku temui, sedang menyapu.
“ hai lagi sibuk ya teh ? “ sapaku so akrab,Mira terlihat kaget dengan kedatanganku.
“ ah enggak-enggak..ayo masuk, bentar yah tanggung lagi nyapu “ katanya nyengir,akupun segera masuk ke kamar kosnya.
“ udah makan ? “ tanyanya, aku langsung menggeleng, karenan memang aku belum makan. “ ya udah makan bareng yu “ ajaknya. Awalnya aku agak ragu ,tapi akhirnya aku mengiyakan. Tak ada salahnya fikirku, dengan begini bisa menambah keakraban.
Selama di kamarnya kami tak henti mengobrol, dia mengobrol tentang suasana kos juga tentang kehidupannya. Dari ceritanya aku tahu Mira kini sedang kuliah di salah satu universitas di Jakarta jurusan psikologi semester 4. Mira tak henti mengoceh, menurutku Mira orang yang sangat asik, baik dan juga welcome kepada siapa saja.
“ asal kamu dari Bandung ya ? ketahuan dari cara manggilnya “ tanyanya, ketika kami sedang mencuci piring sehabis makan.
“ iya, ibu Ratih dari Bandung. Tapi selama ini tinggal di Jogjakarta teh “
“ ohh..terus udah punya rencana mau kuliah kemana ?” aku tak langsung menjawab. Aku bingung harus menjawab apa karena memang belum ada tujuan.
“ gak tau teh, pengennya lanjutin kuliah ke Universitas Hukum ,tapi Ratih belum tau di Jakarta adanya dimana. Pengen sekalian dapetin beasiswa gitu, semoga aja dapet “
“ loh, jadi kamu ke Jakarta belum tau mau masuk Universitas mana ? kok bisa ? orang tua kamu gimana ? biasanya kan orang tua suka ngasih masukan “. Mendengar ucapan Mira aku langsung menunduk. Kejadian di malam itu kembali terngiang-ngiang. Aku merasa iri pada Mira, dia mendapatkan dukungan dari orang tuanya sebelum datang ke Jakarta ini. lah aku ? mataku mulai memanas kembali, aku segera menghentikan aktivitasku.
“ kenapa ? “ Mira ternyata menyadari perubahan sikapku. Dia terus memandangku dalam, Seolah-olah dia tahu apa yang aku rasakan saat ini. dengan cepat aku segera menghapus air mataku dan mencoba untuk tersenyum.
“ Ratih kabur dari rumah teh , ayah Ratih tidak mendukung cita-cita Ratih “ aku diam sebentar, mencoba mengendalikan emosi yang saat ini aku rasakan. “ ibu Ratih udah meninggal dan ayah lebih menyuruh Ratih untuk menikah dengan seorang duda yang…” aku tak meneruskan kata-kataku. Tangisku mulai pecah tak kuat menahan beban yang aku rasakan. Mira yang melihatku sepertiitu langsung memeluku.
“ maaf “ ucapnya. Aku tak menanggapi apa yang Mira katakan. Aku hanya terus menangis meluapkan kepedihan yang aku alami. Mira mengusap-usap pundaku membuatku merasa nyaman. Sungguh aku merasa berada dalam pelukan ibuku. Aku benar-benar merindukannya. Andaikan dia masih ada didunia ini, ibu pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang Mira lakukan saat ini padaku. Lama aku terbenam dalam tangisan, setelah merasa tenang aku segera melepaskan pelukan Mira dan mengusap air mata yang membuat pipiku basah.
“ tuhh kan basaaah..” ucapku mencoba bercanda ,Mira hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundaku seakan member semangat.
“ tidak apa-apa “ balasnya. Sejak itu entah bagaimana ceritanya ,aku menceritakan semua pengalaman hidupku pada Mira padahal aku baru saja mengenalnya. Tapi ,aku selalu percaya Mira adalah teman yang baik untuk saling berbagi. Dan aku percaya padanya.
“ pada ngapain sih ? “ tanya seseorang tiba-tiba.
“ eh eloo “ sapa Mira balik. Aku melihat seorang pria sedang berdiri didepan pintu. Memiliki perawakan yang tinggi dan menurutku yah cukup tampan. Dia sekilas melihat kearahku, mungkin heran karena baru pertama kali melihatku.
“ oh ya dit, kenalin ini Ratih. Dan Ratih ini Adit “ aku pun berdiri dan menghampiri mereka berdua, lalu kami pun bersalaman. “ Ratih ini tetangga baru kita. Pasti lo belum tahu kan ? “ tanya Mira pada Adit. Mereka tampak sudah mengenal dekat, terlihat dari cara mereka berbicara.
“ hooh, emang sejak kapan ? ko baru sekarang gue tahu ? “
“ baru kemarin ko, maaf tidak sempat memperkenalkan diri “ Adit hanya menganguk sambil bergumam ohhh…
“ eh iya dit, Ratih ini rencananya mau kuliah di Universitas Hukum ,lo bisa bantu kan ? lo kan banyak kenalan, masa logak bisa bantu cari info ? “ jelas Mira. Aku agak kaget mendengarnya, aku tidak percaya Mira akan membantuku selama disini. Adit hanya diam, dia terus memandang kearahku yang membuatku tak nyaman.
Tak lama sambil menganguk ia berkata “oke…”

5 tahun kemudian….
Bila hal-hal indah hanya ada dalam mimpi, selamanya aku ingin tertidur, membayangkan semua keindahan sehingga seluruh dunia dapat aku genggam ditanganku. Tapi tidak ! ini benar-benar nyata ! semua mimpi yang selalu ingin aku wujudkan kini ada dalam genggamanku. Ya ! aku telah berhasil meraih apa yang aku cita-citakan. Semua terasa mimpi, tapi ini nyata. Perjuangan ,kerja keras serta dukungan dari orang-orang terdekat ku telah merubah seluruh hidupku.
Mira..Adit..dua sosok orang yang ada dibalik kesuksesan ku. Aku benar-benar bersyukur bertemu mereka. Mereka seperti keluarga untuku yang selalu mengerti bagaimna keadaanku. Mereka tak pernah berhenti meyakinkanku untuk terus berjalan ketika aku terjatuh. Sungguh aku sangat menyayangi mereka berdua.
“ Ratih “ terdengar teriakan memanggil namaku, dikejauhan aku melihat Mira dan Adit melambai-lambaikan tangan dengan gembira. Dengan setengah berlari aku segera menghampiri mereka. Tanpa basa-basi aku langsung menubruk Mira dan langsung memeluknya. Air mata haru mengalir dari mataku.
“ terimakasih “ ucapku, dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Aku semakin erat memeluk Mira ,aku ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka berdua. Ku lihat Mira mulai meneteskan air mata, lalau tanganya menyeka air mataku.
“ udah cantik gini malah nangis “ ucapnya, lalu kembali memeluku erat. “ selamat, akhirnya semua cita-citamu terwujud “.
“ terimakasiihh…”

“ kau mau mengajaku kemana ? “ setelah acara wisuda itu selesai Adit langsung menculiku. Adit hanya nyengir, senyum-senyum sendiri tanpa menjawab. Dia benar-benar menyebalkan,tapi aku tetap tersenyum melihat tingkahnya.
“ tutup mata “ perintahnya,
“ apa? “
“ cepet tutup mata “
“ ribet “. ucapku ngambek,tapi anehnya aku masih saja nurut. Adit langsung menuntunku keluar mobil. Setelah berjalan beberapa langkah Adit menyuruhku untuk membuka mata. Dan tampaklah dua kursi dan satu meja yang dihiasi lampu hias membuat suasana semakin ramai. Pandanganku beralih pada sebuah lilin yang membentuk kata I love you . benar-benar perfect.
“ maukah kau menikah denganku ? “ tiba-tiba Adit menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku sulit untuk bernafas…

Sebelum aku melanjutkan studiku ke inggris, aku pulang  ke Jogjakarta untuk menemui ayahku. Aku telah melupakan kejadian beberapa tahun kebelakang. Aku tetap menyayanginya sekalipun dia telah berlaku tega terhadapku. Ketika aku tiba disana, betapa sakitnya aku ketika melihat ayahku terbaring lemah di rumah sakit. Semenjak aku pergi ayahku langsung sakit-sakitan, ayahku telah di vonis oleh dokter dan hidupnya tidak akan lama lagi. Aku benar-benar terpukul mendengarnya. Bibiku bilang ayah tak pernah berhenti menanyakan kepulanganku. dia juga menjelaskan, bahwa ayah selalu menyesali apa yang telah di perbuat olehnya padaku ketika terakhir kali aku dan ayah bertemu.
“ ayah kamu tiap hari suka nangis. Dia nyesel udah nelantarin kamu, gak ngurus kamu. Mangkannya ayah kamu nyuruh kamu buat nikah sama pak kasim itu bukan apa-apa, dia Cuma pengen liat kamu ada yang ngurus, hidup kamu lebih baik ketimbang tinggal sama dia. Dia bener-bener nyesel udah ngelarang kamu buat kuliah. Dia Cuma takut ga bisa ngebiayain kamu, gak bisa ngasih kamu yang terbaik “. Ucap bibiku. Sungguh ku tak tahan mendengarnya, sesaat itupula aku langsung menemui ayahku dan langsung  menangis di sampingnya. Aku lihat wajah ayahku yang mulai menua. Kerutan diwajahnya semakin jelas terlihat. Aku benar-benar menyesal telah berfikir yangtidak-tidak tentang ayahku, ternyata dibalik sikapnya yang telah berubah dia tak pernah henti memikirkan ku, memikirkan bagaimana masa depanku.
“ ayah ini Ratih yah..bangun..Ratih pulang “ aku mencoba membangunkannya. tiba-tiba mata ayah mulai terbuka.
“Ratih….” Ucapnya berat. Aku melihat butiran air mata jatuh dari kedua matanya.
“ ayah ..” aku menggenggam tangannya. “ maafin Ratih, Ratih udah pergi ga bilang-bilang. Ratih udah buat ayah sakit-sakitan..Ratih bener-bener nyesel ,maafin Ratih..harusnya Ratih yang jaga ayah disaat ayah sakit kaya gini…” aku tak kuasa menahan tangis, tangan ayah tak henti membelai kepalaku sama prĂ©cis seperti yang selalu ia lakukan ketika aku kecil dulu.
“ harusnya ayah yang minta maaf..maafkan ayah Ratih, tidak bisa menjadi ayah yang baik buat kamu………”. Ucapannya semakin berat tak terdengar, belaian tangannya di kepalaku mulai berhenti. Aku mendongak menatap wajah ayahku, matanya perlahan mulai menutup. Aku benar-benar panic. Tiba-tiba mesin telah menunjukan ayahku telah meninggal dunia. Aku terduduk lemas. Pandanganku kosong. Aku benar-benar tidak percaya tuhan kembali mengambil orang yang paling aku sayangi. Aku menangis sejadi-jadinya melihat tubuh ayahku yang terbujur kaku..
 
3 tahun kemudian..
Setelah menyelesaikan pendidikan Hukum ku di inggris aku kembali ke Indonesia. Sejak itu aku menikah dengan Adit, seseorang yang juga aku cintai ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Darinya aku di karuniai seorang anak laki-laki yang tampan dan juga lucu. Bernama Zafran Achilles .


* ini adalah karya pertama saya yang benar-benar saya rampungkan semasa SMA