Selasa, 17 Juni 2014

Cerbung: 4 Seasons; 1


Arumi merasakan sedikit rasa sakit dikepalanya saat ia terbangun. Sejenak ia mengingat-ngingat dengan apa yang telah ia lakukan tadi malam. Hampir semalaman penuh Arumi mengurung dirinya di dalam kamar berkutat dengan laptopnya dan ia hanya akan keluar untuk mengambil air minum atau makanan ringan yang menjadikannya teman pengisi perut di tengah tugasnya yang menumpuk. Benar. Ia hanya mendapatkan jatah beberapa jam saja untuk tertidur. Dan saat ini, kepalanyan terasa sakit karenanya. Arumi meringis. Ini sudah menjadi hal biasa untuknya di saat tugas-tugas itu mulai menyerangnya untuk dikerjakan. Dan ia tak pernah bisa berhenti sebelum rasa kantuk dan lelah benar-benar ia rasakan.
Dengan malas-malasan Arumi bangkit dari tidurnya dan segera membuka jendela kamarnya. Ia memejamkan matanya seraya menghirup udara kota tokyo di musim panas yang mulai terbiasa dengan tubuhnya. Ia tersenyum. Walaupun belum sepenuhnya ia terbiasa, namun mengingat kali pertama ia menginjakan kakinya di negri sakura ini cukup menggelikan. Ia cukup kewalahan mengatasi udara musim panas di sana. Indonesia memang beriklim tropis dan harusnya ia terbiasa dengan udara panas. Namun sayangnya musim panas di Jepang sangatlah berbeda. pada bulan pertama saja, ia sama sekali tak mampu menghabiskan waktu sepanjang hari diluar. Ia akan pulang lebih cepat ketimbang mahaiswa lainnya. Namun seiring waktu berlalu ia sedikit mulai terbiasa. dan ia harus menyiapkan dirinya di musim yang lain. masih ada 3 musim yang tersisa. Dan ia benar-benar tak sabar menunggu datangnya musim semi disana.
Serasa bermimpi. Ia tak pernah membayangkan akan menginjakan kakinya di Jepang, negara yang selau menjadi impiannya di masa lalu. perjuangan kerasnya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Ia meraih beasiswa untuk menjadi salah satu mahasiswa disana di salah satu perguruan tinggi ternama. Walaupun begitu ia harus mengorbankan sesuatu yang berharga untuknya karena harus meninggalkan ayahnya seorang diri di negara kelahirannya. Dan itu tak jarang membuatnya khawatir, mengingat tak akan ada yang menghentikan ayahnya jika ia bekerja terlalu keras. Ayahnya memang tak pernah bisa diam. Diantara beberapa ratus karyawan yang dimilikinya, ia akan ikut menyibukan diri. Memang di indonesia ayahnya memiliki sebuah restoran yang dirintis bersama ibunya yang sudah terkenal dan memiliki cabang dimana-mana. Karena memasak adalah hidupnya, ayahnya pun selalu ikut andil dalam penyajian setiap masakan yang disajikan. Mendadak ia merindukan indonesia. Merindukan ayahnya juga makanan favoritnya.
 Ketika tenggorokannya terasa kering, Arumi memutuskan untuk pergi ke bawah setelah memastikan masih cukup banyak waktu yang tersisa untuknya sebelum ia pergi ke universitas. Dengan sedikit memukul kepalanya ia berjalan gontai menuruni tangga. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan kemudian mendongakkan kepalanya ke arah kamar yang lain untuk memastikan sesuatu. Dengan sedikit cemberut ia menampakan ekspresi berfikir. ‘tidak pulang lagi?’ tanyanya dalam hati sembari mengerutkan kening ketika matanya melihat sebuah kamar tanpa cahaya lampu. Ia benar-benar tak mengerti dengan rumah ini. ia memang tak hidup seorang diri disana, namun ia benar-benar merasa sendiri. Ia merasa berdampingan dengan seorang patung hidup. Apalagi kalau bukan begitu? ketika Arumi hanya dapat melihatnya bergerak namun nyaris tak pernah mendengarnya berkata.
Ada yang lain dengan pria yang berada satu atap dengannya selama 3 bulan terakhir ini. ia begitu dingin dan sangat jarang bicara. Tatapan yang selalu diberikan pria itu seolah mengandung makna ‘terganggu’ dan ‘kekesalan’ yang tak ia mengerti. Pria itu seolah enggan mengajaknya bicara atau sekedar bertukar sapa, dan Arumi hanya akan mendengarnya berkata jika ia bertanya. Terkadang ia merasa benar-benar kesepian. Mengapa ayahnya begitu tega membiarkan ia hidup bersama seorang pria yang tak pernah tahu bagaimana caranya berucap? Hanya karena pria itu merupakan anak dari teman lamanya, ayahnya tanpa khawatir menitipkan ia bersama pria itu. jujur saja ia akui, Arumi memang merasa senang ketika tanpa diduga pria yang dulu tanpa sengaja pernah bertabrakan dengannya di halaman rumah—pria yang ia anggap sebagai cinta pada pandangan pertamanya—akan tinggal satu atap dengannya selama ia berada di Jepang. Tetapi setelah mengetahui sosok pria itu yang sebenarnya, Arumi sedikit kecewa. Mengapa ia harus mencintai pria yang sama sekali tak pernah bisa melihatnya? Seorang pria yang bahkan selalu menatapnya dengan tatapan yang selalu membuatnya tak nyaman.
  Cinta pada pandangan pertama memang sulit diterima oleh akal, namun kau tak akan percaya sebelum mengalaminya sendiri. Arumi tahu tak ada hal seperti itu di dunia ini, ‘cinta pada pandangan pertama? Hanya dengan pertama kali kau melihatnya, kau akan jatuh cinta? Mustahil sekali’ itulah yang selalu ia lontarkan dihadapan teman-temannya, setidaknya sebelum ia bertemu dengan pria itu. namun pertemuan tanpa sengaja dengan pria itu telah merubah pola fikirnya tentang arti dari cinta pada pandangan pertama. Ia sedikit meragukan pendapatnya di masalalu, karena tanpa diduga saat ini ia telah mengalaminya sendiri. ‘cinta pada pandangan pertama? Aku telah mengalaminya’.
Dan tanpa diduga Arumi kembali bertemu dengannya. Ia tak pernah tahu, bahwa pertemuan mereka yang pertama bukanlah kebetulan, namun memang pada saat itu pria itu datang menemui ayahnya tanpa sepengetahuan Arumi. Ia mengira, pria itu hanya kebetulan melewati rumahnya sehingga mereka bertemu tanpa sengaja. Ia tak henti tersenyum jika mengingat hal itu, mengingat kenyataan bahwa ia menabrak Akiro akibat kecerobohannya sendiri. Dan tanpa diduga, tanpa rasa marah Akiro justru membantunya berdiri dan menyunggingkan senyuman yang membuatnya tak bisa melupakan pria itu.  bahkan sampai saat ini, ketika ia kembali bertemu dengannya dengan sosok yang berbeda Arumi tetap saja selalu merindukannya.
Arumi menoleh ketika segelas air dingin telah meluncur melewati tenggorokannya. Ia mendengar suara pintu terbuka dan tak lama seorang pria yang tengah di fikirkannya mulai menampakkan sosoknya.
“kau tak pulang lagi?” tanyannya pada pria itu yang hanya di jawab dengan gumaman seperti biasa. Pria itu tak memandangnya sedikitpun. Ia hanya menghampirinya dan mengambil segelas air putih.
“jika kau tidak pulang, sebenarnya kemana kau pergi?” Akiro—pria itu—menoleh sesaat untuk menatap wanita di sampingnya dengan tatapan terganggu sebelum ia kembali meneguk air putih yang berada di tangannya. Arumi mengalihkan tatapannya. Lagi-lagi tatapan itu.
“bukan urusanmu” jawabnya enteng. Ia berjalan menjauhi Arumi dan mulai menyalakan televisi yang berada tak jauh darinya. Ia membuka jaketnya yang sedari tadi menyelimuti tubuhnya. Arumi menatapnya dengan kening berkerut.
“bukan urusanku? Jelas itu urusanku. Akiro-nii apa kau tidak khawatir sedikitpun ketika meninggalkanku di rumah seorang diri?”
“kau sudah cukup dewasa untuk menjaga dirimu sendiri. Lagipula kau tak perlu khawatir, kau tahu keamanan disini sangat terjamin”
Arumi mendengus. Arumi tahu ia tak perlu khawatir dengan keamanan dari tempat tinggal yang ia tempati saat ini. namun tidakkah pria itu mengerti? yang Arumi inginkan lebih dari itu. ia hanya merasa kesepian dan menginginkan seorang teman yang dapat ia ajak untuk bicara. Walaupun Arumi tahu, keberadaan Akiro disana tak membantu sama sekali.
Arumi menyimpan gelas yang sedari tadi berada di tangannya dengan keras ke atas meja, sehingga menimbulkan bunyi yang dapat di dengar oleh Akiro. Pria itu tak bereaksi sama sekali walaupun ia tahu bahwa gadis itu tengah merasa kesal karenanya.
“baiklah sepertinya kau tidak mengerti apa yang ku maksud” Arumi mulai berjalan mengahampiri Akiro yang tengah menikmati salah satu acara di televisi. Ia sama sekali tak bergeming ketika Arumi duduk di sampingnya. Arumi menatapnya dengan seksama, namun pria itu tak bereaksi sama sekali. Ia menghela nafas. “kau tahu aku hanya merasa tak memiliki teman seorang pun. Aku benar-benar merasa kesepian padahal aku tak sendiri disini” Arumi memulai percakapannya, berharap pria itu akan berkata lebih banyak dari biasanya. Ia berharap mendapatkan penjelasan.
“aku tak pernah melarangmu untuk membawa temanmu ke rumah ini” lagi-lagi berkata tanpa melihatnya. Arumi mulai merasa kesal. Sosoknya yang tak pernah di acuhkan sebelumnya merasa kesulitan untuk menahan diri dari rasa marah yang ia pendam terhadap pria di sampingnya. Rasanya ingin saat itu juga ia meluapkan semua yang ia pendam selama ini.
“bukankah selama ini aku hidup denganmu? mengapa aku harus membawa teman yang lain, sementara masih ada yang bisa kujadikan seorang teman?”
Akiro tak menjawab, ia hanya menoleh dengan tatapan andalannya. Kali ini Arumi memberanikan diri untuk membalas tatapannya yang selalu membuatnya tak nyaman itu. dan tak lama ia mendengar Akiro mendengus dengan keras. Pria itu mengalihkan tatapannya dan mulai berdiri.
“aku lelah”
Ia mulai melangkah meninggalkan Arumi namun segera ditahannya dengan meraih tangannya. Entah apa yang telah membuatnya berani melakukan itu. sebelumnya, sesering apapun Akiro menghindarinya, Arumi tak pernah memiliki keberanian untuk menahannya pergi. Namun kali ini, dibalik rasa penasaran dan tak nyaman yang selalu merasukinya, ia telah berhasil menahannya disana. Akiro berbalik menatap Arumi dengan dahi berkerut.
“katakan padaku. Apakah kau merasa terganggu dengan kehadiranku di rumah ini?”
Akiro masih menatapnya dengan tatapan heran namun tak kunjung bicara. Ia mengalihkan tatapannya untuk melihat tangan Arumi yang menahannya. Namun Akiro merasakan cengkraman yang semakin kuat ketika ia mencoba melepaskan tangan wanita itu dari tangannya. Dengan sedikit kesal Akiro berkata.
“apa yang kau inginkan?”
“kau berhenti bersikap dingin padaku dan menjawab pertanyaanku”
Akiro mendecak.”keinginan yang cukup sulit”
“apa kau bilang? Sesulit itukah kau bersikap biasa padaku?” Arumi bertanya tak precaya. Sebenarnya pria itu menganggap dirinya apa? Hama yang mengganggukah?.
“ku harap kau mengerti tanpa harus ku jawab”
“apa?”
Tanpa Arumi sadari cengkraman tangannya pada pria itu melonggar seiring dengan perkataannya yang membuat Arumi tak mengerti. Akiro berhasil melepaskan dirinya dan mulai berjalan meninggalkan Arumi yang masih terlihat berfikir. ‘kau mengerti tanpa harus ku jawab? Apa maksudnya?’. Ia mulai tersadar ketika melihat Akiro yang mulai menjauh dan segera berlari untuk mengejarnya. Sembari merentangkan tangannya Arumi kembali menahan Akiro.
“apakah itu artinya kau merasa terganggu dengan keberadaanku?” Arumi benar-benar tak mengerti dengan pria ini. apa yang salah dengan dirinya sehingga dia bersikap seperti itu padanya?. “apa yang salah dengan diriku? Apakah aku terlalu berisik untukmu?”
Akiro terlihat tersenyum namun dengan senyuman sinis. Ia menyentuh tembok disamping kanannya dengan keras cukup mengagetkan Arumi yang berada di depannya. Akiro kembali menatap gadis itu.
“haruskah aku berkata bahwa aku merasa terganggu dengan perjodohan kita?”
“ya?” Arumi menampakan ekspresi polosnya sebelum ia dapat mencerna keseluruhan dari makna kata perjodohan. “perjodohan? Ap-apa maksudmu?” seketika ia bereaksi berlebihan ketika mulai mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu. ia sedikit terkejut. Apa maksudnya dengan perjodohan? Dia dan pria itu? bagaimana mungkin?
Akiro kembali menyunggingkan senyuman sinisnya. “tak perlu berpura-pura. Kau tak mungkin tak mengetahui masalah ini. kau mengerti bukan? Aku hanya merasa terganggu dengan perjodohan kita. Itulah alasan mengapa aku kesulitan untuk bersikap biasa padamu” Akiro berjalan melewati Arumi tanpa memperdulikannya sedikitpun. Ia memejamkan matanya. bersikap dingin kepada wanita itu bukanlah keinginan hatinya. Namun tak ada yang dapat ia lakukan jika mengingat tentang perjodohan mereka yang sama sekali tak dapat ia terima. Bagaimana mungkin ia dapat bersikap biasa? Ia berada satu rumah dengan calon istri yang dijodohkan orang tuanya, sementara dalam hatinya ia memiliki wanita lain yang ia harapkan menjadi calon istinya kelak..

***

Gadis itu memaksakan diri membuka matanya yang terasa begitu menempel. Ia sedikit mengerutkan dahi ketika matanya yang mulai terbuka menangkap sebuah ruangan yang sesaat terasa asing untuknya. Beberapa detik setelahnya ia mulai ingat dimana ia berada. Ia hanya bisa memukul kepalanya pelan karena kembali tertidur di ruangan itu. ia tak pernah mengerti bagaimana ruangan itu dapat menjadi nyaman untuknya disaat kepalanya dan matanya mulai terasa berat diwaktu yang bersamaan. Ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain dan mendapati seorang pria berkemeja putih tengah duduk membelakanginya.
Arumi tersenyum. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sosok sensei yang saat ini tengah membelakanginya. Ia benar-benar sosok yang mengasykkan. Walaupun umur mereka terbilang cukup jauh—10 tahun, tapi pria itu memiliki pesona yang luar biasa, sehingga mampu membuat murid-muridnya tergila-gila tanpa alasan. Itu cukup aneh, mengingat dirinya sendiri merasa biasa-biasa saja dengan pria ini. walaupun Arumi tak bisa menyangkal kenyataan, bahwa dirinya juga mengakui ketampanan dan pesona yang dimiliki senseinya itu. Tapi  sungguh itu tak membuat Arumi terpikat sama sekali. Namun satu hal yang selalu membuat Arumi merasa heran. Melihat kenyataan bahwa banyak wanita cantik dan mapan disekelilingnya yang bahkan mengantri untuk dapat berkencan dengannya, senseinya itu masih hidup seorang diri. Dan setiap kali Arumi bertanya, pria itu hanya menjawab dengan tawaan tanpa mendapat jawaban yang memuaskan.
 “lagi-lagi aku tertidur” Arumi bergumam namun cukup terdengar oleh pria yang berada tak jauh darinya. Tanpa Arumi sadari pria itu membalikan tubuhnya dan menatap Arumi yang tengah mengucek matanya. pria itu tersenyum dan menggelengkan kepala seperti biasa.
“kau sudah bangun?”
Arumi mengangguk. “mengapa sensei tidak membangunkanku?. Pada akhirnya aku selalu tertidur disini“ ucap Arumi sambil memajukan bibirnya. Tangannya kembali mengucek-ngucek matanya.
Pria itu—Kazuto, berjalan mendekati Arumi dan menyenderkan tubuhnya pada dinding di hadapan Arumi. “kau terlihat lelah. Aku tak tega membangunkanmu. Begadang lagi eh ?”
Arumi tersenyum seolah membenarkan apa yang senseinya itu tanyakan. Senseinya—Kazuto, memang sudah mengetahui kebiasaannya. Arumi tanpa sengaja selalu tertidur di ruangannya ketika ia menyerahkan tugas ataupun bertanya-tanya untuk meminta bantuannya.  Dan kali ini kebiasaan itu terulang kembali.
Arumi hanya menganguk untuk menjawab pertanyaan dari Kazuto.
Dan Kazuto hanya mengangkat kedua alisnya lalu menglihkan tatapannya dari Arumi. muridnya ini sangat keras kepala, dan ketika Kazuto bersiap untuk membuka mulutnya Arumi menyela.
“ya aku tahu..aku tahu..kau pasti akan mengatakan bahwa aku ini murid yang keras kepala“ Arumi berucap tanpa memandang Kazuto, sementara Kazuto hanya tersenyum tipis mendengar apa yang Arumi ucapkan. Ucapan yang selalu ia katakan jika Arumi tertidur di ruangannya dan mendapati lingkaran berwarna hitam dibawah mata gadis itu.
“kau tahu, aku selalu mencoba untuk tidak menganggu waktu tidurku. Tapi tetap saja sulit aku lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa tertdur sementara banyak tugas yang masih menunggu untuk aku kerjakan?”
“kau terlalu memaksakan diri“ balas Kazuto lalu meletakan sebuah tugas yang tadi Arumi serahkan padanya ke atas meja. tatapan Arumi mengikuti gerakan tangan senseinya lalu mendengus. “dan pada akhirnya kau selalu tertidur di ruanganku. Apa kau fikir ini adalah kamarmu?”
Arumi tersenyum menahan malu. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“gomen. Hari ini aku benar-benar merasa lelah sensei“
Kazuto menggelengkan kepalanya. “sebaiknya kau segera pulang dan beristirahat. Apa kau sudah makan siang?”
Arumi menggeleng dan tiba-tiba saja ia ingat pada janjinya untuk pergi makan siang bersama Keiko. “aku melupakan sesuatu“ teriak Arumi segera merogoh ponsel dalam sakunya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab serta pesan dari nomor yang sama. Keiko. Arumi memukul kepalanya sendiri mengingat temanya itu mungkin sudah dari tadi menunggunya. Sementara Kazuto heran melihat tingkah Arumi.
“ada apa?”
“aku berjanji untuk makan siang bersama Keiko-san, tapi karena aku tertidur mungkin Keiko-san sudah menungguku dari tadi“. Arumi segera berdiri dan mencari tasnya. Ketika ia sudah menemukannya,Arumi berbalik “apa kau sudah makan siang sensei?”
Kazuto menggeleng. Lalu Arumi tersenyum. “kalau begitu ikutlah bersama kami. Kita makan siang bersama“
Kazuto mendudukan tubuhnya diatas kursi lalu membuka beberapa tugas yang berada di atas mejanya. “aku masih memiliki sesuatu yang harus aku kerjakan. Sebaiknya kau cepat pergi, bukankah Keiko sudah menunggumu?”
Arumi menaikan alis dan memajukan bibirnya. “mengusirku eh?”
Kazuto mengangkat kepalanya lalu menatap Arumi sekilas yang kini tengah berdiri dihadapannya dengan ekspresi yang menurutnya lucu. Ia kemudian terkekeh ketika mengingat kembali apa yang ia katakana sebelumnya.
“kau tahu maksudku bukan seperti itu. kau harus segera mengisi perutmu, tadi pagi kau pasti tidak sarapan bukan?”
Arumi membenarkan perkataan senseinya. “kau selalu memberiku nasihat, tapi kau sendiri tak begitu memperhatikan dirimu. Sebaiknya kau ikut makan siang bersama kami“
Kazuto tersenyum lalu menatap mata bulat Arumi. “aku sudah mengatakannya padamu, masih ada sesuatu yang harus aku kerjakan“
Arumi mencibir. Bagaimana mungkin senseinya itu mengatakan bahwa ia adalah murid yang keras kepala, tanpa menyadari dirinya yang juga seperti itu?. Arumi memutuskan untuk menyerah dan membiarkan senseinya berkutat dengan sesuatu yang harus dikerjakannya mengingat Keiko yang sudah menunggunya dari tadi.
“baiklah kalau begitu. Aku pergi. Jangan lupa untuk menikmati makan siangmu“ Arumi berbalik dan mendekati pintu, membukanya lalu kemudian menutupnya dari luar. Kazuto yang menyaksikannya hanya tersenyum.
Ah gadis itu. mengapa ia begitu terlihat menarik dimatanya?

Bersambung...

Senin, 16 Juni 2014

Cerpen: A k h i r .


ia berubah! Entah apa yang telah membuatnya berubah. Ia memang masih terlihat sama, namun jika kau perhatikan lebih teliti kau akan menemukan perubahan yang cukup berarti pada sosoknya saat ini. aku merasakan kehilangan sosoknya yang pernah aku kagumi dulu. ia yang terkesan jarang tersenyum dan tak banyak bicara telah menumbuhkan sosoknya yang dingin yang telah berhasil menjeratku pada pesonanya. Namun saat ini, tak ada lagi sosoknya yang seperti itu dan aku benar-benar telah kehilangannya. Karena entah mengapa, melihatnya saat ini yang selalu tersenyum dan bercanda seperti itu mulai membuatku tak suka. Kenyataan aku yang pernah—atau mungkin masih mencintainya—merasa sedikit terganggu ketika mengetahui ia yang selalu tersenyum dengan manisnya kepada wanita lain. cemburu? Entahlah. Mungkin saja. Aku tak dapat mengelak.
Sama halnya seperti malam ini. ketika kulihat kembali sosoknya dengan penampilan yang berbeda, entah mengapa aku merasa jatuh cinta dan merasa benci dalam waktu yang bersamaan. Kulihat ia tersenyum seperti biasanya namun dengan senyum yang mulai ku benci. Kenyataan bahwa ia selalu tersenyum seperti itu kepada wanita lain membuat moodku berubah seketika. dan mengingat ia datang dengan begitu ceria-nya membuatku bertanya-tanya, “apakah kau selalu seperti ini dihadapan wanita lain?”. jawabannya: jangan tanya, karena tak akan pernah ada jawaban.
Namun lebih dari itu, bukan hanya rasa cemburu yang telah membuatku tak suka tetapi karena aku memang benar-benar merasa kehilangan sosoknya yang dingin seperti es. Ada perasaan khawatir yang kini aku rasakan. Berlebihankah aku? Merasa cemburu melihatnya seperti itu, sementara aku hanyalah seorang wanita biasa di matanya. Walaupun aku merasa kedekatan yang terjalin diantara kami memiliki porsi yang lebih dari pada yang lain—setidaknya itu yang aku tahu walaupun mungkin diluar sana ia selalu melakukan hal yang sama—namun kali ini aku ingin bersikap biasa, membatasi kedekatan diantara kami karena memang seperti itulah yang seharusnya terjadi. Bukankah aku sama seperti mereka, tak ada yang membuatnya berbeda sehingga aku terlihat ‘istimewa’ walau sedikit saja? Kau bahkan selalu tersenyum dengan senyuman yang sama. dan melihatmu seperti itu akhirnya membuatku tersadar. aku bukanlah sosok yang istimewa di matamu walaupun kau sedikit memperlakukanku dengan cara yang berbeda. mungkin selama ini kau hanya sedang merasa bosan dan berharap dapat bermain-main denganku. Tapi sayangnya, aku tak memiliki waktu untuk bermain-main saat ini.
Aku hanya berharap akan mencintai seorang pria yang dapat menjaga perasaanku, setidaknya seorang pria yang tidak akan pernah dengan mudahnya memberikan senyuman yang ‘sama’ dan menunjukan sosok lain dibalik sikapnya yang dingin kepada wanita lain. kau tahu? Tak ada hal lain yang membuatku seperti ini, karena aku hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang mengetahui sosokmu yang sebenarnya, sosokmu yang selalu ceria dibalik sikap acuhmu selama ini. Namun ketika ku ketahui aku tak mendapatkan semua itu, aku mulai mengerti. Bahwa selama ini aku telah gagal menjadi sosok yang berarti dalam hidupmu.
Mungkin mulai saat ini kau akan merasakan sosokku yang berubah, namun bukan maksudku untuk menjauh. Bukankah dimatamu aku sama seperti mereka? Dan itulah yang ingin aku lakukan. Berusaha menciptakan sesuatu yang seharusnya dan menghindari sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi diantara kita.

Kamis, 03 April 2014

Cerpen: Semenit Waktu


Jalanan kota Jakarta memang tak pernah absen dari kata macet. Setiap harinya seakan tak pernah habis kendaraan berlalu lalang dari berbagai kota. Suasana yang membosankan juga polusi udara yang menjadi ciri khas kota-kota besar tak jarang membuat setiap pengguna jalan merasa kesal. Tapi tidak berlaku untuk seorang wanita yang kini tengah tenggelam dengan fikirannya didalam sebuah taksi. Kekesalan yang selalu dirasakan pengguna jalan seakan tak berlaku untuknya kali ini. matanya memang tak pernah lepas memandang puluhan kendaraan didepannya, tapi fikirannya tak ada di tempat.
Reyna candrawinata hanya bisa menatap kosong mobil-mobil dihadapannya. Fikirannya kali ini menerawang kemana tujuannya untuk pergi. Reyna mendengus. Ia tak pernah berfikir akan pergi dengan keadaan hatinya yang seperti ini. Seharusnya ia ikut bahagia hari ini, bukan malah sebaliknya. Bukankah menyaksikan salah stu anggota keluarga kita menikah, merupakan sebuah kebahagiaan?. Melihatnya tersenyum bahagia di atas pelaminan dengan seseorang yang akan menjadi pendamping hidupnya, mau tak mau tanpa sadar membuat kita ikut bahagia menyaksikannya. Tapi tidak untuk Reyna jika saja orang itu bukan seseorang yang selalu ia rindukan selama ini. tidak, sebenarnya ia ikut merasa bahagia. Tapi sisi lain dari hatinya merasa begitu terluka.
Reyna tahu perasaanya memang tak wajar. Ia seharusnya bisa mengendalikan hatinya untuk tidak mencintai saudara sepupunya sendiri. tapi ternyata itu sangat sulit untuk di lakukan. Reyna tak pernah membayangkan akan mencintai seorang pria gendut juga jelek yang dulu begitu jahil dan menjengkelkan dimatanya. Tapi setelah 18 tahun tak bertemu dengan pria itu—karena entah mengapa mereka tak pernah di pertemukan satu sama lain setelah orang tua Reyna bercerai-- dan di pertemukan kembali 4 tahun yang lalu ketika ia pindah kuliah ke Jakarta-- mau tak mau membuat pandangannya untuk pria itu berubah. Pria itu telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan, lemak dalam tubuhnya kini hilang entah kemana. tapi sikapnya yang menjengkelkan masih belum hilang dari dirinya, karena terkadang ia menjadi begitu menjengkelkan jika tingkah ‘over’nya kumat. Walaupun usia pria itu terpaut 5 tahun lebih tua darinya, tapi ia masih selalu bertingkah konyol dan tak jarang mengundang tawa untuknya.
Berbeda dengan saudara sepupunya yang lain, Bagas yang merupakan adik dari Rangga—pria yang ia cintai. Kepribadian Bagas dan Rangga bisa di ibaratkan seperti langit dan bumi. Jika Rangga merupakan pribadi yang tak bisa diam, lain lagi dengan Bagas yang cenderung terlalu pendiam. Bagas sangat jarang bicara padanya walaupun untuk sekedar membicarakan tugas kuliah. Bagas memang satu fakultas dengannya bahkan dengan jurusan yang sama, tapi itu tak membuat mereka dekat sama sekali. Dan tak jarang, sikapnya yang terlalu dingin dan acuh selalu membuat Reyna marah dan membenci pria itu. Bahkan sampai saat ini pun hubungan keduanya tak pernah membaik. Sehingga Reyna selalu lebih memilih menghindar dari orang itu daripada ia harus merasa kesal setiap kali bertatap muka dengan wajah dinginnya Bagas.
Dan selama hampir 4 tahun kebersamaan Reyna dengan dua kakak beradik itu menumbuhkan perasaan yang lain dihatinya. Ia yang semakin mencintai Rangga, dan semakin membenci Bagas.
Ia selalu merasa bersalah pada paman dan bibinya jika mengingat perasaannya terhadap Rangga. Bagaimana mungkin ia bisa mengkhianati kebaikan mereka yang bahkan sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri?. sebenarnya ini tak akan begitu membuatnya merasa bersalah jika saja Rangga bukanlah saudara sepupunya. Tapi walaupun begitu, Reyna tak pernah bisa menghapus semua mimpi-mimpinya. Mimpi yang selalu membuatnya berharap untuk menjadi pedamping hidup Rangga dimasa depan kelak.
Sampai pada saatnya semua mimpi itu harus ia kubur sedalam mungkin, setelah sebuah kabar menghancurkan hampir setengah hidupnya beberapa hari yang lalu..
***
“ jadi kemana saja kau selama ini ?” tanya Rangga di tengah-tengah makan siang mereka. Reyna mendongakan kepala untuk melihat Rangga lalu tersenyum.
“ apa kau merindukanku ?”
Rangga terlihat mendengus, tapi tak dapat menyembunyikan wajahnya yang tengah menahan senyum. Benar, ia memang merindukan gadis itu. hampir satu bulan ini ia tak pernah menemui Reyna di karenakan ia terlalu sibuk menguruskan sesuatu hal.
“ apa kau berharap aku mengatakan ‘iya’ ?”
“ apa kau keberatan ?”
“ baiklah, aku merindukanmu.” Berhenti sejenak, lalu melanjutkan “ Jadi kemana saja kau selama ini ? aku mencoba menghubungi ponselmu tapi kau tak pernah menjawabnya sekalipun “
“ seharusnya aku yang bertanya seperti itu” Reyna berucap tanpa memandang Rangga sedikitpun. Makanan di atas piringnya menjadi lebih menarik saat ini. sementara Rangga hanya menatap Reyna dengan sabar menunggu jawaban dari gadis itu. ia melipat tangan di atas dadanya, punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi.
Reyna menghentikan sejenak aktivitasnya untuk menatap Rangga. “ lagipula akhir-akhir ini aku cukup sibuk untuk sekedar mengangkat telfon. Kau tahu aku harus segera menyelesaikan tugas akhirku
“ aku tak akan mencuri waktumu sampai satu jam jika kau mengangkat telfonku”
“ kau benar “ Reyna kembali memasukan makanan kedalam mulutnya. “ tapi aku hampir sangat jarang menyentuh ponsel selama ini. jadi maafkan aku“
Rangga hanya mendesah pasrah mendengar jawaban gadis itu. ia tak pernah tahu jika menyelesaikan tugas akhir akan begitu menyita waktunya, sehingga melupakan sebuah ponsel sampai tak menyentuhnya sama sekali.
Reyna menatap Rangga serius. “ bukankah kau ingin memberitahuku sesuatu ? jadi apa itu ?”
Rangga berkedip beberapa kali, lalu menatap Reyna. Gadis itu sudah selesai dari aktivitasnya. “ ya aku ingin memberitahumu tentang ini “ dengan ragu, Rangga segera mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan menyerahkannya kepada Reyna. Reyna menaikan alisnya. Entah mengapa perasaannya berubah tak enak.
“ apa ini ?” tangannya segera meraih sebuah kertas berupa undangan pernikahan yang di serahkan Rangga. Reyna segera membuka undangan itu, lalu tercengang ketika matanya membaca sebuah nama yang begitu taka sing untuknya.
‘ RANGGA ADITYA DENGAN MELISHA PUTRI ‘
Sedikit mencerna dengan apa yang tengah di bacanya, Reyna merasakan tangannya bergetar ketika menyadari nama sang pria yang tertera disana. Ia segera menatap Rangga untuk mencari kepastian dari pria itu. Tak lama, Rangga yang kini tengah menatapnya mengangguk dan entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa sesuatu yang tajam tengah menusuk ulu hatinya. Reyna tersenyum getir. Ia benar-benar berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang tak akan lagi hadir dalam hidupnya. Tapi tidak, Reyna sadar ini benar-benar nyata. Ia tahu ini akan terjadi, tapi ia tak menyangka akan secepat ini. Jika saja saat ini tak ada Rangga bersamanya, mungkin Reyna akan menangis sejadi-jadinya. Ia tak bisa membayangkan pria yang dicintainya menikah dengan wanita lain. Rasanya sakit sekali. ia merasakan dadanya sesak, bahkan terasa sulit untuk sekedar bernafas. Jantungnya berdegup semakin cepat dan seluruh tubuhnya terasa semakin melemas. Sekuat tenaga Reyna menahan diri untuk tidak menangis. Lalu ia kembali menatap Rangga.
“ kakak kau…” Reyna menggantung perkatannya, tenggorokannya terasa tercekat sehingga membuatnya sulit untuk berucap. “ a-apakah ini alasan..kau si-sibuk selama ini ?”
Rangga tahu apa yang Reyna rasakan, dan itu ikut membuatnya sakit.
“ ya…maaf aku tak memberitahumu sebelumnya. Aku hanya takut mengganggu tugas akhirmu. aku tahu kau tak mungkin diam jika mengetahui aku akan menikah, kau pasti akan ikut menyibukan diri dan aku tak ingin itu terjadi di tengah kesibukanmu. Jadi aku…..” Rangga tak melanjutkan perkatannya ketika melihat gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum. Ia tahu Reyna tengah mati-matian menahan tangis, dan itu gagal gadis itu lakukan karena selanjutnya cairan bening itu mulai mengalir dari sudut mata gadis itu.
Rangga memejamkan matanya. Ia tahu Reyna mencintainya, dan itu membuatnya tak mudah untuk memberitahu Reyna tentang pernikahannya. Selama ini ia mencoba merahasiakannya dari gadis itu, dengan meminta kepada seluruh keluarganya untuk tidak memberitahukan kabar ini kepada Reyna, dengan alasan ia akan mengatakannya sendiri sebagai sebuah kejutan. Padahal Rangga tahu ini bukanlah kejutan yang di harapkan gadis itu, karena ini hanya akan melukainya. Tapi apa yang bisa ia lakukan pada saat itu selain merahasiakannya ? karena dilain sisi ia tak ingin megganggu Reyna di tengah tugas akhirnya.
“ rey kau…menangis ?”
Reyna mengangkat kepalanya. undangan pernikahan masih berada di tangannya yang tanpa sadar ia remas sampai sebagian undangan itu robek. Tentu saja Rangga tahu, tapi ia lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengetahuinya.
“ kakak…aku..senang “ ia berusaha berucap walaupun terasa sulit. Wajahnya memaksakan sebuah senyuman. “ aku senang pada akhirnya ada yang mau menikah…dengan pria menyebalkan  sepertimu..” Reyna menghentikan ucapannya sejenak dengan sebuah tawa kecil tersungging di wajahnya, lalu melanjutkan. “ jadi..mengapa kau tak mengenalkannya padaku hah ?”  
Kali ini Reyna menampakan wajah marah, walaupun ia tahu ia gagal melakukannya. Kesedihannya lebih mendominasi suasana hatinya saat ini. Rangga hanya diam tak tahu apa yang harus ia katakana. tiba-tiba ia melihat Reyna mengusap air matanya.
“ kakak kau tahu ? aku begitu bahagia mendengar kau akan menikah sampai-sampai aku menangis untukmu. Memalukan sekali bukan ?”
Dan untuk sekian kalinya Rangga tahu gadis itu tengah berbohong….
***
Reyna tersentak kaget ketika sebuah taksi yang membawanya di rem secara tiba-tiba. Fikirannya  secara otomatis langsung menyadarkan dimana dirinya berada saat ini. ia sudah cukup lama bergulat dengan fikirannya sehingga membuatnya tak sadar dengan keadaan sekitar. Ia segera mengalihkan tatapannya menatap keluar jendela. Terlihat jalanan yang mulai basah karena ternyata hujan turun tanpa disadarinya. Ia mendengus. Bahkan langitpun ikut menangis dengan kisah hidupnya yang menyedihkan.
Taxipun berhenti disebuah gedung yang telah ramai oleh para tamu undangan. Reyna menatap sekilas ke arah gedung, ia menghela nafas panjang sebelum tangannya membuka pintu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini harus ia jalani dan ia tak mungkin untuk lari dari kenyataan yang kini harus ia hadapi. Ketika baru saja ia membuka pintu, tiba-tiba saja ia melihat Bagas yang sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah payung di tangannya. Ia menaikan alis sedikit heran.
“ ibu yang menyuruhku “ ucap pria itu tanpa ditanya dan sontak membuat Reyna membuang muka. Memang siapa yang peduli? Menyebalkan sekali, batinya. Dengan sedikit kesal, Reyna memilih untuk melangkah keluar dan berdiri di samping Bagas dibawah payung yang tengah melindungi mereka dari derasnya hujan. Ia menoleh sekilas untuk sekedar melihat pria itu. Reyna sadar Bagas sangat tampan, bahkan lebih tampan dari kakaknya. Tapi sayang sikap pria itu lebih menyebalkan dari kakaknya.
Mereka mulai berjalan beriringan di tengah hujan yang mengguyur payung mereka. Reyna sedikit gugup karena berada lebih dekat dengan Bagas. jika di ingat-ingat ini memang kali pertama mereka berada di posisi sedekat ini.
cepat masuk, ibu sudah menunggu “ Bagas langsung meninggalkannya kearah lain tanpa menatapnya sekalipun ketika mereka sudah sampai di halaman gedung. Reyna mendengus kesal. Benar-benar pribadi yang dingin, pantas saja aku membencimu, fikir Reyna dan mulai melangkah memasuki gedung.
Dan benar saja, bibi shin memang sudah menunggunya. Ia langsung menyambut Reyna dengan memeluknya disusul dengan beberapa pertanyaan bernada khawatir. Reyna tersenyum. Inilah yang selalu membuatnya merasa bersalah. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan bibi shin rasakan jika mengetahui ia mencintai Rangga. Ia begitu dekat dengan bibi shin seperti hubungan Reyna dengan ibunya sendiri. Terlebih selama hampir 3 tahun ini Reyna tinggal bersama dengan keluarga Rangga dan membuat kedekatannya dengan keluarga itu semakin terasa jelas. Tak lama setelah berbincang-bincang dan menyapa beberapa keluarga lainnya, bibi shin meminta Reyna untuk segera menemui Rangga. Dengan senyuman yang sedikit dipaksakan Reyna mengangguk.
Reyna menghembuskan nafasnya berat dan mulai melangkahkan kakinya dengan ragu. Ia benar-benar gugup dan..takut. beribu-ribu pertanyaan serasa  melayang di fikirannya. Apa yang harus ia lakukan ? langkah apa yang harus ia ambil ? sanggupkah ia berpura-pura bahagia di tengah perasaannya yang begitu terluka ? sanggupkah ia untuk tidak menangis lagi di hadapan Rangga ? dan sanggupkah ia mengatakan kata ‘selamat..semoga kalian bahagia’ kepada pria yang dicintainya ?. Reyna menggelengkan kepalanya pelan. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuatnya pusing. Dan ia lebih memilih untuk mengabaikannya daripada cairan bening itu meluncur kembali saat ini.
setelah bersusah payah melangkahkan kakinya, Reyna mulai melihat pasangan pengantin yang tengah sibuk menyambut para tamu. Ia menghentikan langkahnya sejenak. Ia benar-benar merasa gugup sekarang. Sebisa mungkin ia mencoba bernafas normal, ia menghela nafas beberapa kali untuk menenangkan degup jantungnya yang berdetak semakin cepat.
apa kau gugup ?
Reyna dengan sontak menengok ketika sebuah suara terdengar olehnya. Di sebelah kiri yang tak jauh darinya ia melihat seorang pria tampan berjas hitam yang tengah melipat tangan dan bersender pada sebuah tiang di bangunan itu. dia benar-benar sempurna dan orang lain mungkin akan terjerat oleh pesona pria itu. tapi tidak untuk Reyna jika saja pria itu bukanlah Bagas. Seperti biasa ia selalu menampakan ekspresi dingin sedingin es yang selalu membuatnya tak nyaman. Dan beberapa detik kemudian ia melihat Bagas yang mulai melangkah ke arahnya.
“ apa menemui pasangan pengantin itu begitu menyulitkanmu ?” tanyanya ketika Bagas sudah berada beberapa meter darinya. Reyna mendengus memilih untuk tak menjawab pertanyaan pria itu. ia tahu bertemu dengan Bagas hanya akan membuat suasana hatinya semakin buruk.
“ biar ku antar “
“ eh ?”
Reyna tersentak kaget ketika Bagas menarik tangannya untuk melangkah maju. Walaupun terasa sedikit memaksa, tapi entah mengapa Reyna merasakan sedikit kelembutan dari cara ia memperlakukannya. Bagas terus membawanya melangkah maju tanpa memperdulikan Reyna yang merasa aneh dengan tingkahnya. Walaupun selama ini Bagas begitu menjengkelkan untuknya, tapi entah mengapa hari ini Reyna merasa pria itu begitu mengerti perasaannya. Mungkinkah Bagas tahu apa yang dia rasakan saat ini ?
Dan Bagas segera menghentikan langkahnya ketika mereka sudah berada tak jauh dari tempat Rangga berdiri. Reyna menatap lurus ke depan. Dapat ia lihat Rangga yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Reyna merasakan remasan lembut di pergelangan tangannya sebelum Bagas melepaskannya.
“ pergilah. Dia menunggumu “ ucapnya yang langsung pergi meninggalkan Reyna. Kembali Reyna merasa heran. Ia ikut menatap kepergian pria itu. Reyna tidak mengerti, mengapa punggung pria itu terlihat begitu rapuh dimatanya ?
***
“ aku mencarimu, dan ternyata kau disini “
Reyna tersenyum tipis ketika melihat Rangga yang sudah berdiri di belakangnya. Pria itu menyodorkan segelas minuman padanya.
“ apa yang kau lakukan disini ?”
“ ada apa kau mencariku ?”
Rangga menaikan alisnya lalu tersenyum. Nada suara Reyna terdengar sedikit sinis di telinganya.
“ hanya ingin melihatmu “
Reyna diam tak merespon. Ia merasa bingung apa yang harus ia katakan. Setelah bersusah payah menemui pasangan pengantin tadi akhirnya Reyna berhasil menahan dirinya untuk tidak menangis dan mengatakan ucapan selamat kepada mereka berdua. Tapi kali ini Rangga menemuinya dan ia tak bisa menjamin untuk bisa menahan tangis setelahnya.
“ pengantin macam apa kau ? berkeliaran di tengah-tengah jamuan tamu ..” Rangga tertawa kecil mendengar ucapan Reyna. Ia memang tak bias bertahan lebih lama untuk berdiri disana menyambut para tamu. Sikapnya yang tak bisa diam membuatnya kesulitan jika hanya berdiam diri. Jadi dia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar dan mencari Reyna.
Rangga mengacak-ngacak rambut gadis itu lembut, membuat Reyna menghangat seketika. “ hanya sebentar “ lanjutnya lalu membalikan tubuhnya untuk bersender pada pagar balkon gedung itu.
Beberapa detik setelahnya keheningan melanda mereka. Mereka tak kunjung mengeluarkan suara seakan sibik dengan fikirannya masing-masing. Rangga sendiri merasa bingung apa yang harus ia katakan. Yang pasti ia merasa sangat sakit ketika melihat Reyna bersusah payah menampakan sosoknya yang bahagia. Ia tahu jauh didalam libuk gadis itu, perasaannya sangat terluka. Tapi apa yang harus ia lakukan ? ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusannya yang terbaik.
“ dia sangat cantik dan baik. Kau beruntung bertemu dengannya “ akhirnya Reyna membuka suara membuat Rangga menatapnya lalu kembali menunduk. Keheningan masih terasa diantgara mereka. Rangga sendiri merasa bingung apa yang harus ia katakan.
“ maafkan aku.. “ akhirnya Rangga ikut membuka suara. Ia tahu Reyna saat ini tengah menatapnya heran.
“ maaf ? untuk apa ?”
“ rey kau tahu..kita tak mungkin bersama “ Reyna sontak membelalakan matanya. menatap tak percaya dan sedikit terkejut dengan ucapan pria itu. jadi selama ini dia tahu tentang perasannya ? mengapa pria itu hanya diam saja ? dan tanpa sadar kenyataan itu begitu mengancurkan hatinya. kali ini Reyna menunduk. tak perlu lagi pria itu katakana, Reyna tahu mereka tak mungkin bisa lebih dari ini. tapi apa yang harus ia lakukan ? bahkan untuk berhenti mencintai Rangga sangat sulit ia lakukan.
“ aku tahu..” ucapnya hampir tak terdengar. Baiklah, pada kenyataannya ketakutannya memang terbukti. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis kali ini. Reyna mengusap air matanya segera dengan punggung lengannya, lalu menatap Rangga.
“ aku tahu aku tak seharusnya seperti ini. aku benar-benar bodoh. Aku sudah beberapa kali mencoba untuk melupakanmu, tapi aku selalu gagal melakukannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, bahkan sampai saat ini…” Reyna menghentikan ucapannya mencoba menenangkan dirinya yang mulai terisak. Ia kembali mengusap air matanya yang jatuh. “ aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan “ lanjutnya lirih, terdengar begitu menyedihkan.
Rangga mengalihkan tatapannya untuk tidak melihat Reyna. Ia benar-benar tak tahan melihat gadis itu menangis di hadapannya. Sebisa  mungkin ia menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu. Rangga tahu, Reyna membutuhkan ketenangan saat ini. tapi memeluknya disaat seperti ini bukanlah keputusan yang baik. Karena itu hanya akan membuat gadis itu semakin sulit melepaskannya. Bahkan untuk dirinya sendiri.
Rangga meremas tangan gadis itu, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. “ kumohon. Mulai saat ini…kau harus benar-benar melupakanku “ sebuah kalimat yang sangat benci ia katakana. tapi Rangga harus melakukan itu. ia harus segera mengakhiri semua ini walaupun harus menyakitinya. “aku tahu kau mencintaiku. Tapi selama ini aku tak bisa merasakan hal yang sama sepertimu. Aku sudah menganggap mu seperti adiku sendiri. jadi kumohon lupakan aku. Hatimu terlalu berharga untuk mencintai pria sepertiku. Carilah pria yang lebih baik dariku, yang lebih bisa membuatmu bahagia. “
Reyna tercengang. Ia tahu Rangga tak mungkin mencintainya. Tapi mendengar pria itu mengatakannya secara langsung benar-benar begitu menyakitkannya. Reyna tersenyum samar. Ia menahan diri untuk tidak terisak walau pada akhirnya ia sulit melakukannya. Sebisa mungkin ia mencoba menahan tubuhnya sendiri ketika perasaan menyakitkan mulai melemaskan seluruh tubuhnya. Reyna segera membalikan tubuhnya untuk tidak membiarkan tamu undangan lain melihatnya yang tengah menangis dan kemudian kembali terisak.
Rangga semakin merasa bersalah. Ia mencoba untuk mengusap ujung kepala gadis itu, tapi Reyna segera menepisnya. Bukan hanya Reyna yang merasa begitu terluka. Rangga pun merasakan hal yang sama. bagaimana tidak, ia merasa membohongi dirinya sendiri dengan perkatannya barusan. jika saja mereka tidak memiliki hubungan saudara, mungkin Rangga akan memilih Reyna untuk menjadi pendamping hidupnya. Benar, Rangga mencintai Reyna. Sangat mencintainya. Tapi ia tak mau melukai hati kedua orang tuanya dan orang tua Reyna. Mereka akan sangat begitu kecewa jika mengetahui ia dan Reyna saling mencintai. Jadi ia lebih memilih jalan seperti ini untuk mengakhiri semuanya. Walaupun ia tak begitu yakin dapat melupakan Reyna seperti yang ia pinta kepada gadis itu.
Ia menghela nafas pelan sebelum menatap Reyna. “ aku yakin kau bisa melakukannya. Kau akan menemukan pria yang lebih baik dariku…” sedikit ragu, Rangga mulai melangkah pergi meninggalkan Reyna yang masih terisak. Ia tak bisa lebih lama berada disana karena itu hanya akan membuatnya semakin sulit melepaskan gadis itu. Rangga menyentuh dadanya. Ia merasakan sesuatu benar-benar hilang dari hidupnya. Mulai saat ini ia akan hidup tanpa gadis itu, dan itu berarti ia akan kehilangan dirinya yang sebenarnya. Ia akan hidup dalam kepura-puraan dan entah sampai kapan hal itu akan bertahan. Ah mengapa ini begitu menyakitkan ? jika saja bisa, Rangga benar-benar ingin menangis saat itu juga....
***
Hari mulai gelap dan langit telah berhenti menumpahkan hujannya. Reyna menengadah menatap langit, berharap akan melihat bintang untuk menghibur dirinya walaupun itu mustahil ia temukan. Ia menghela nafas pelan. Acara pernikahannya masih belum berakhir tapi Reyna memilih untuk menarik diri daripada ikut terlibat dengan keramaian didalamnya. Setelah kejadian itu, pada akhirnya Reyna tak bisa menahan diri untuk menyembunyikan tangisnya diantara para tamu undangan. Reyna telah menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat sebelum akhirnya seseorang membawanya dari situasi yang membuatnya sulit untuk sekedar melangkah. Bagas. Pria itu telah menyelamatkannya. Ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi jika Bagas tak datang membawanya. Mungkin paman dan bibinya akan datang tanpa diduga dengan melontarkan beberapa pertanyaan yang mungkin akan sangat menyulitkannya.
 ‘aku tahu kau mencintaiku. Tapi selama ini aku tak bisa merasakan hal yang sama sepertimu. Aku sudah menganggap mu seperti adiku sendiri ‘
Tiba-tiba ucapan Rangga kembali teringat di fikirannya. Reyna menyentuh dadanya yang sakit. Ribuan jarum yang tajam seolah-olah menghantam jantungnya saat ini. rasanya begitu sakit. Benar-benar sakit. Jika saja Reyna bisa memilih, ia akan lebih memilih untuk mati daripada harus hidup dengan rasa sakit yang teramat sangat. Ia tak yakin sampai kapan ia akan bertahan dengan rasa sakit yang begitu menghujam hatinya saat ini.
“ minumlah “ Reyna sedikit terkejut ketika melihat sebuah kaleng minuman yang disodorkan padanya. Kepalanya mendongak dan mendapati Bagas yang tengah berdiri dengan sebuah kaleng minuman yang sama. Sedikit heran ia segera meraihnya.
Bagas duduk di sampingnya dan membuat Reyna sedikit tidak nyaman mengingat Bagas tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Ia menatap Bagas sekilas. Keheningan melanda mereka.
“ terimakasih...” berhenti sejenak sebelum melanjutkan “ aku tidak tahu mengapa kau melakukan hal ini mengingat kita tak pernah akur sebelumnya. Tapi aku benar-benar berterimakasih padamu karena kau telah menyelamatkanku dari kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika paman dan bibi tahu aku menangis disana..jadi terimakasih “ Reyna menatap Bagas, ia menyunggingkan senyuman yang mungkin baru kali ini ia lakukan kepada pria itu. Bagas menatapnya dengan ekspresi andalannya.
“ aku tidak merasa membantu ataupun menyelamatkanmu. Aku hanya melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan “ ucapnya, membuat Reyna menatap tak percaya. Bahkan setelah ia tersenyum tulus kepada pria itu, sikap dinginnya seakan tak mau hilang dari sosoknya. Reyna mendengus. Seharusnya ia tahu, mengharapkan Bagas sedikit berubah dari sosok dinginnya sangat mustahil terjadi. Bagas akan selalu menjadi sosok yang menyebalkan untuknya sampai kapanpun itu.
“ kau benar-benar orang yang sangat pintar membuat moodku cepat berubah. Baiklah lupakan ucapan terimakasihku sebelumnya”  Reyna kehilangan nafsu untuk bicara. Ia merasa menyesal karena sebelumnya telah berfikir Bagas telah berubah dan sangat mengerti dengan perasaannya saat ini. tapi pada kenyataannya pria itu masih saja menyebalkan.
Setelah beberapa saat mereka terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, akhirnya Reyna angkat bicara.
“ baiklah. Pada akhirnya rasa penasaran akan membunuhku secara perlahan jika aku hanya diam dan tak bertanya padamu “ berhenti sejenak, dengan sedikit ragu Reyna melanjutkan “jadi....sejak kapan kau tahu? “
Bagas menatap Reyna malas “ apa ?”
“ kau pasti tahu apa yang terjadi diantara aku dan kakakmu. Entah mengapa jika di ingat-ingat kembali, semua yang kau lakukan padaku selama ini seolah-olah kau mengerti dengan apa yang aku rasakan. Jadi, sejak kapan kau menyadarinya?”
Bagas terdiam. Sejak awal dia memang tahu apa yang terjadi diantara mereka. Tatapan Reyna terhadap Rangga sangat berbeda, begitupun sebaliknya. Karena hal itulah ia bersikap dingin terhadap Reyna walaupun kenyataannya ia tak ingin melakukannya. Jika harus jujur ia telah menyukai sosok Reyna jauh sebelum Reyna menyadari perasaannya terhadap Rangga. Tapi apa yang dapat ia lakukan ? karena setelahnya Reyna tak pernah melihatnya sedikitpun.
Bagas menatap Reyna. “ aku tak memiliki keharusan untuk menjawab pertanyaanmu “
Reyna kembali membuang muka dan menghembuskan nafas lebih keras dari biasanya. Ia kemudian berdiri berniat untuk meninggalkan pria itu. Reyna tak ingin memperburuk suasana hatinya dengan tetap berada disana.
“ aku tahu ini akan menjadi sia-sia. sampai kapanpun aku tak akan mampu bertahan lebih lama jika berdua denganmu. pantas saja, sampai saat ini tak ada asatupun wanita yang mau dekat denganmu karena kau menjadi begitu menyebalkan karenanya. Aku sarankan padamu, sebaiknya kau buang sosok menyebalkan itu dari hidupmu jika kau tak ingin menghabiskan sisa hidupmu tanpa seorang wanita. hah, benar-benar menyebalkan. Sampai kapanpun aku akan tetap membencimu “ Reyna membalikan tubuhnya dengan kesal dan mulai melangkah meninggalkan Bagas. Namun sesuatu tak terduga terjadi ketika sesuatu menahan tangannya.
“katakan padaku, apa kau begitu membenciku selama ini ?”
Reyna menatap Bagas dengan tatapan heran, dan kemudian menatap tangan pria itu yang masih menahan tangannya. Ia mencoba melepaskan tangan pria itu, namun Bagas tak juga melepaskannya. Reyna sedikit kesal sekaligus heran. Saat ini Bagas tengah menatapnya dengan tatapan aneh. Entah mengapa, Reyna melihat perasaan terluka dari mata pria itu.
“apa kau begitu bodoh ? kau tahu jawabanku tanpa harus bertanya. Sekarang lepaskan tanganku” Bagas tak juga menuruti permintaannya. Ia masih saja menatapnya dengan tatapan yang semakin membuatnya merasa tak nyaman.” Apa yang kau lakukan? Kubilang lepaskan tangan...”
Reyna tak percaya dengan apa yang dilakukan pria itu selanjutnya. Ia merasakan jantungnya berdegup semakin kencang ketika Bagas menciumnya tanpa permisi. Ini pertama kalinya. Dan Reyna tak pernah membayangkan Bagas akan mencuri ciuman pertamanya. Ia tahu ini tak boleh terjadi. Tapi ia tak mengerti karena pada kenyataannya ia tak bisa melepaskan diri dari pria itu, sampai pada akhirnya pria itu menghentikan ciumannya dan menatap Reyna dengan serius.
“apa yang kau lakukan....” ucap Reyna masih dengan tatapan tak percaya. Ia mencoba mengumpulkan fikiran sehatnya setelah kejadian tersebut.
“sesuatu yang ingin aku lakukan dibalik sikap menyebalkanku padamu selama ini” Bagas menimpali dan segera menangkap tubuh Reyna ketika gadis itu mulai kehilangan kesadaran pada kakinya. Bagas segera membawanya duduk dan sedikit mendengus.
“kau....” Reyna menatap Bagas dengan perasaan bingung. “ mengapa?”
Bagas menunduk beberapa saat kemudian menatap Reyna. Ia tahu Reyna masih belum sadar sepenuhnya setelah kejadian tadi. Ia tak bermaksud mengejutkan gadis itu, namun ia tak memiliki pilihan lain karena ia tak menginginkan gadis itu pergi dari hidupnya. Bagas tersenyum tipis.
“ apa kau terlalu bodoh untuk menyadarinya? Apakah perasaanmu terhadap kakaku begitu membutakanmu sehingga kau tak melihat keberadaanku sedikitpun?” Reyna tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu. Ia menggigit bibir bawahnya dan dengan ragu mencoba mencari jawaban ditengah perasaan bingung yang melandanya.
“ itu..aku...”
“aku mencintaimu”
“apa?” untuk kesekian kalinya Reyna merasa terkejut oleh pria itu. Ia mengerjap beberapa kali berharap apa yang didengarnya hanyalah sebuah lelucon atau indera pendengarannya tidak berfungsi dengan baik secara tiba-tiba sehingga kemungkinan ia salah dalam mendengar. Ia mencoba mencari kepastian dengan menatap mata pria itu. Namun tatapan pria itu membuatnya semakin tidak nyaman.
“ heey apa kau mencoba mempermainkanku? Aku tidak mungkin akan tertipu oleh pria menyebalkan sepertimu. Kau mencintaiku? Hahaha leluconmu tak lucu sama sekali” Reyna tertawa walaupun kenyataannya ia tak bernafsu sama sekali. Ia mencoba bersikap biasa walaupun sebenarnya ia mulai merasa gugup sekarang. “lagipula jika kau memang mencintaiku, aku ragu akan merasakan hal yang sama sepertimu. Jadi hentikan leluconmu”
“ini bukan lelucon”
“eh?”
Bagas kembali menatap Reyna serius mencoba megutarakan seluruh perasaannya terhadap gadis didepannya saat ini. ia tak peduli jika saja Reyna memang benar-benar tak merasakan apapun padanya selain rasa benci. Ia hanya menginginkan gadis itu tahu perasannya dan mulai melihatnya sebagai seorang pria bukan seseorang yang menyebalkan seperti biasanya mulai dari saat ini. Bagas sudah memikirkan hal terburuk yang akan terjadi. Bahkan ia tak peduli jika saja kedua orang tua mereka mungkin akan murka kepadanya. Karena yang pasti ia sangat mencintai Reyna dan tak ingin gadis itu pergi dari hidupnya.
“apa kau yakin tak merasakan sesuatu yang lain selain membenciku selama ini?”
“ah? I..itu...” Reyna menggantung ucapannya bingung dengan perasaannya sendiri. Sebenarnya selama ini ia memang tak begitu yakin benar-benar membenci pria itu. Jauh didalam lubuk hatinya ia merasakan sesuatu yang tak biasa walaupun pria itu begitu menjengkelkan untuknya. Bagas memang sosok yang begitu dingin terhadapnya namun entah mengapa Reyna merasakan ada sesuatu yang lain dari pria itu. Tatapan dingin yang ditujukan pria itu terhadapnya seolah-olah menyimpan sejuta ungkapan yang tak dapat ia mengerti selama ini.
“aku...tidak..”
“tak apa. Aku akan menunggu” dengan reflek Reyna langsung menatap Bagas yang kini tengah tersenyum kepadanya. Reyna merasakan hatinya menghangat tiba-tiba. Ini adalah kali pertama pria itu tersenyum padanya. “aku mengerti jika kau sama sekali tak merasakan apa-apa padaku, karena aku tak pernah melakukan apapun padamu selama ini kecuali membuatmu semakin membenciku. Tapi mulai saat ini cobalah melihatku sebagai seorang pria yang akan selalu kau cintai. Aku akan menunggu sampai saat itu tiba dan tak akan pernah bertindak bodoh dengan melepaskanmu seperti apa yang kakaku lakukan padamu. Jadi bisakah kau melakukan itu untukku mulai saat ini?”
Reyna menatap Bagas dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kini ia sadar bahwa sesungguhnya jauh dilubuk hatinya ia juga mencintai pria itu. perasaan benci yang dirasakannya selama ini menjadi sekat tipis yang membuatnya sulit mengakui perasaannya terhadap pria itu. Reyna menatap Bagas tersenyum kemudian disusul dengan ekspresi cemberut.
“bodoh. Mengapa kau lakukan hal ini padaku? Kau benar-benar membuatku kesulitan dengan perasaanku sendiri...”
Dan tanpa mereka tahu, jauh di seberang sana sepasang mata tengah memperhatikan mereka. Perasaannya semakin terluka ketika melihat seorang pria dan wanita yang dicintainya berada di hadapannya. Ia tersenyum samar dengan air mata yang jatuh diantara kedua matanya.
“ kau benar aku memang bodoh. Bodoh karena telah melepaskan wanita yang kucintai….”


Semenit waktu
( Ada band )
Di pelukanku terakhir kali, ku katakana cinta..
Putih dan suci yang kau persembahkan seperti janji manis..

Bila malam menjelang,
Ingin ku hitung lagi segenap jumlah bintang yang bersinar di wajahmu..

Akhirnya semua telah berakhir bagai mimpi buruk,
Menerjang ruang batin hidupku,
Tak berperasaan..
Ku diam tertegun menatap pilu dirimu,
Kau begitu indah..

Dunia serasa mati hilang semangat hidup,
Aku rindu padamu, aku teramat sayang..
Jika ini takdirku bolehkah ku berharap,
Semenit waktu ingin ku balas kata cinta….

Harusnya ku berlari mengejar kepegianmu..
Takan terulang kisah dua anak manusia….